“Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa.”
Dunia pers Indonesia memasuki usianya yang
ke-70, jika dihitung
dari berdirinya lembaga yang
mewadahi insan pers bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari
1946. Hari jadi PWI itu setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pers Nasional
(Keputusan Presiden No. 5/1985). Sebenarnya usia dunia pers negeri ini sudah
lebih tua dari itu,
sebab PWI bukanlah lembaga pers pertama yang terbentuk di negeri ini. Sekedar
menyebut, di zaman Belanda misalnya berdiri organisasi Inlandsche Journalisten
Bond (berdiri 1914), Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem
Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940).
Di usia ke-70 tahun, pers diharapkan semakin
berkembang dan semakin memberikan kontribusi nyatanya dalam fungsi utamanya: sebagai
media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial (pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang
Pers). Di usianya yang
demikian, pers diharapkan
tidak lagi disibukkan dengan adanya permasalahan internal sendiri, sehingga fungsi dan perannya
akan lebih optimal. Namun nyatanya gayung belum bersambut. Akhir-akhir ini pers
tertimpa suatu masalah
yang tidak bisa dianggap sepele, yaitu munculnya fenomena pers partisan.
Fenomena pers partisan, berupa kecenderungan pers untuk memihak kelompok,
golongan atau partai tertentu dalam pola pemberitaan maupun pola
periklanannya, sungguh memprihatinkan. Bagi pers partisan, kelompok, golongan atau partai tertentu di pihaknya harus selalu
mendapatkan pemberitaan yang positif, sementara di pihak lain kalau bisa
tercitrakan sebaliknya atau diberitakan ala kadarnya. Daya kritis pers akan menjadi tumpul ketika
berhadapan dengan kelompok
atau partai sendiri, sementara ia akan memiliki pisau bedah yang tajam untuk
menguluti kekurangan kecil sekalipun dari kelompok atau partai yang berseberangan.
Dengan perilaku tidak terpuji seperti ini, tentu pers partisan justru bersifat
destruktif bagi iklim demokrasi suatu bangsa.
Tak disangkal lagi, munculnya pers partisan
bersumber dari kepemilikan media oleh pengurus partai politik (Parpol). Kepemilikan media oleh
pengurus parpol tentu akan memunculkan konflik kepentingan. Untuk kursi
kekuasaan, pemilik media akan cenderung mengontrol ruang redaksi, akibatnya tiada yang
lain kecuali media menjadi pendukung partai politik atau sikap politik
pemiliknya.
Untuk tujuan kekuasaan,
hak-hak publik untuk mendapatkan program yang berkualitas, berimbang dan
independen diabaikan. Bagi pemilik media partisan yang penting adalah publik
disuguhi informasi seragam mengenai kebaikan-kebaikan partainya dan capres yang
didukungnya. Selain itu, publik juga harus dihidangkan informasi-informasi negatif
terhadap partai dan capres pesaingnya. Ruang redaksi dikontrol agar tak ada
berita negatif dari partainya yang keluar ke publik. Sebaliknya, berita positif
dari partai pesaing harus ditutup rapat, dianggap tak pernah ada.
Pemilik media mengontrol pemimpin redaksi, pemimpin redaksi
mengontrol redaktur pelaksana, redaktur pelaksana mengontrol para redaktur,
redaktur mengontrol wartawan. Walhasil, wartawan di lapangan yang akan merasa
teraniaya secara idealismenya. Tak jarang wartawan harus melaporkan berita yang
hanya menguntungkan pemiliknya dan sesungguhnya tidak penting. Wartawan harus
melaporkan detil-detil kegiatan pemilik media. Tidak segan pemilik media
meminta slot waktu untuk menayangkan musyawarah atau rapim partainya, terutama
saat ia menyampaikan pidato politik, kalau bisa ditanyangkan secara langsung. Padahal
di waktu yang sama, masih banyak even lain yang lebih penting, tetapi semua itu
dikalahkan demi memenuhi syahwat politik sang pemilik media.
Sebagai contoh perilaku media partisan, berikut ini hasil penelitian
yang dipresentasikan pada akhir Maret 2014 oleh Remotivi dan Masyarakat Peduli Media (MPM)
sebagaimana dimuat di Matamassa.org.
Menurut Remotivi, dalam periode penelitiannya
pada 1-7 November 2013,
eksploitasi ruang redaksi oleh pemilik untuk kepentingan politik, paling nyata
terjadi di Metro TV dengan Surya Paloh (SP) yang
paling banyak diberitakan. Metro
TV memberi porsi kepada Surya Paloh untuk tampil secara visual dan berbicara di
layar kaca mencapai persentase 43,6 persen dari total durasi yang diteliti. Sementara itu, dalam periode penelitian tersebut, didapati bahwa Aburizal Bakrie (ARB) dengan TV One-nya dan Hary Tanoesoedibjo (HT) dengan RCTI-nya tidak melakukan eksploitasi ruang redaksi
secara massif. Hasil ini tidak mengindikasikan bahwa TV One dan RCTI sudah independen dan non-partisan, sebab semua berita tentang pemiliknya
di kedua televisi ini bernada
positif. Penilaian ini tentu saja bisa berubah jika penelitian dilakukan
setelah Hary Tanoesoedibjo mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Sementara itu, dalam periode
penelitian yang lebih lama yaitu 1-15 November 2013,
MPM menyatakan bahwa berita di
TV One lebih banyak menyebut Partai Golkar dan juga ARB sebagai calon presiden dibandingkan dengan parpol
dan calon presiden lainnya.
Demikian pula di Metro TV dengan Partai Nasdem dan Surya Paloh. Sementara untuk media cetak, Rakyat Merdeka memberikan porsi
dominan pada Dahlan Iskan.
Berkaitan dengan iklan
politik, Remotivi
memperlihatkan bahwa TV
One memberikan ruang 152 spot iklan bagi ARB selama periode penelitian (1-7
November 2015). Sementara itu,
di RCTI, Wiranto- Hary Tanoesoedibjo (Win-HT) beriklan
sebanyak 66 kali ditambah kampanye dalam program kuis kebangsaan dengan
tayangan sebanyak 14 kali selama periode tersebut.
Sementara itu, MPM menyatakab bahwa terdapat kecenderungan yang
sama antara TV
One dan Metro TV yang menyiarkan
iklan politik pemilik dengan frekuensi tinggi. Iklan ARB rata-rata tidak kurang dari 15 kali
tayang per hari di TV One,
sedangkan Surya Paloh tidak kurang dari 20 kali per hari di Metro TV.
Demikianlah, bahwa pers
partisan itu begitu nyata di negeri ini. Fenomena ini tentu menggelisahkan
banyak pihak dan harus segera dicari jalan keluarnya, mengingat posisi pers
merupakan pilar keempat dari demokrasi. Ini berarti bahwa pers sangat
menentukan baik atau buruknya praktik demokrasi suatu negara. Kita tidak boleh
menutup mata dengan adanya praktik curang dari pers seperti ini. Apalagi bagi
media penyiaran yang menggunakan frekuensi milik publik yang merupakan sumber
daya yang terbatas. Benar bahwa modalnya berasal dari swasta, namun melihat bahwa
frekuensi yang dipakai adalah milik publik, maka fenomena seperti ini tidak
boleh dibiarkan.
Tentu bukan hal yang mudah
untuk mengubah kondisi seperti ini. Diperlukan kerja keras dari berbagai pihak
untuk mengurai benang kusut pers partisan ini. Berikut ini sejumlah solusi sederhana
yang penulis ajukan, walaupun terkesan klise.
Pertama, diperlukan komitmen
dari media watch untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku media. Lembaga
ini diharapkan akan mengeluarkan laporan berkala terkait dengan independensi
dan netralitas media. Bila perlu mengeluarkan semacam indeks independensi dan
netralitas media. Dengan laporan berkala seperti ini akan bisa menjadi penuntun
publik untuk memilih media mana yang dapat dijadikan rujukan dan media mana yang
pemberitaannya masih dikontrol oleh pemilik alias media partisan. Dengan adanya
publikasi berkala seperti ini, publik yang biasanya cenderung menelan bulat-bulat
informasi yang sampai kepada mereka akan terdorong untuk lebih kritis dengan
melakukan pembandingan dengan pemberitaan dari media lainnya.
Kedua, pengawasan melekat dan penegakkan disiplin oleh lembaga profesi
yang menaungi media dan insan media. Lembaga profesi kewartawanan telah memiliki
aturan main yang tertuang dalam kode etik jurnalistik. Sebenarnya sangat mudah
untuk melihat apakah sebuah media partisan atau tidak hanya dengan mengecek
apakah media itu masih patuh terhadap kode etik yang disepakati bersama. Misalnya,
jurnalis Indonesia memiliki kode etik yang menyatakan bahwa ‘Wartawan Indonesia bersikap independen,
menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk’ (Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia) yang ditandatangani oleh 29 organisasi wartawan dan
organisasi perusahaan pers Indonesia.
Organisasi PWI juga memiliki
aturan yang menyebutkan bahwa ‘Wartawan
Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan
dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri’ (Pasal 5 Kode
Etik Jurnalistik PWI). Demikian juga dengan
organisasi profesi lainnya. Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI), dalam poin ke
tujuh kode etik jurnalistiknya menyebutkan bahwa, ‘Jurnalis menolak segala bentuk campur tangan
pihak manapun yang menghambat kebebasan pers dan independensi ruang berita.’
Sementara Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia menyebutkan di pasal 2: Jurnalis Televisi Indonesia adalah
pribadi mandiri dan bebas dari benturan kepentingan, baik yang nyata maupun
terselubung. Demikian juga di pasal 3: Jurnalis Televisi Indonesia
menyajikan berita secara akurat, jujur dan berimbang, dengan mempertimbangkan
hati nurani. (Kode Etik
Jurnalistik Televisi Indonesia).
Kita harus mendorong
organisasi profesi tersebut berani melakukan tindakan tegas dengan mendisiplinkan
para anggotanya agar tetap bekerja sesuai dengan norma dan etika yang
disepakati. Bila perlu, organisasi profesi memberikan sanksi tegas kepada jurnalis
yang telah melanggar kode etik dengan mengeluarkannya dari organisasi. Itu jika
organisasi profesi kewartawanan tersebut berani!
Ketiga, lembaga-lembaga
seperti Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus berpartisipasi
aktif dalam mengurai permasalahan pers partisan ini. Kedua lembaga itu harus berani
malakukan teguran kepada media-media yang dengan jelas telah bersikap partisan,
berikut juga dengan pemberian sanksi yang tegas. Perlu juga pemberian
penghargaan, oleh kedua lembaga itu atau juga lembaga lainnya, kepada media
yang telah menjalankan prinsip independensi dan netralitas bermedia. Bila perlu,
diberikan juga 'award' kepada lembaga paling tidak independen agar menjadi cambuk perbaikan selanjutnya.
Keempat, yang lebih penting
dari solusi di atas ialah partisipasi anggota masyarakat yang telah tercerahkan
secara literasi untuk bisa menularkan pengetahuannya kepada yang lain akan
pentingnya media yang independen dan netral. Mereka perlu membuat komunitas
atau lembaga yang terus memproduksi tulisan-tulisan yang mencerdaskan perilaku
bermedia dari masyarakat. Bahkan, masyarakat pun bisa memberikan hukuman kepada
media yang masih bersikap partisan dengan menutup chanelnya untuk televisi, dan
tidak membaca produk media cetak dan onlinenya.
Para penggerak literasi nampaknya masih harus
berkerja keras untuk mencerdaskan pola bermedia masyarakat. Sebab, perilaku sebagian
masyarakat saat ini justru bertolak belakang dengan yang kita harapkan.
Bukannya memberi sanksi, mereka justru cenderung mendukung kepada media
partisan ini. Mereka suka terhadap berita
sensasional, yang menyanjung tinggi tokoh idola yang didukungnya sembari menjatuhkan
dan menginjak tokoh lawan yang berseberangan dengan dirinya. Dengan perilaku penikmat
media seperti ini, masih akan tumbuh suburkah pers partisan di negeri ini?
Demikian sejumlah ulasan
singkat yang dapat penulis hadirkan dengan harapan bisa memperbaiki kualitas
pers negeri ini. Akhirnya, penulis cukupkan tulisan ini dengan kutipan ayat
Al-Qur’an yang sangat relevan terkait dengan netralitas media ini:
“Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8)
Selamat merayakan hari jadi pers
yang ke-70. Jayalah pers Indonesia, majulah demokrasi bangsa!
Jayapura, 9 Februari
2015
Sunardi
0 Response to "Menyoal Fenomena Pers Partisan"
Post a Comment