Sahabat, sudah banyak tulisan,
laporan, ataupun video dibuat untuk menjelaskan seperti apa penderitaan muslim
Uyghur di bawah pemerintahan Cina yang menerapkan kebijakkan represif. Biarlah
tulisan ini menjadi pelengkap yang diharapkan menjadi pelengkap pemahaman
sahabat semua atas kejadian sebenarnya terhadap muslim yang menempati provinsi
yang bernama Xinjiang, atau lebih dikenal dengan Turkestan Timur atau Turkestan
Tiongkok ini.
Tulisan ini sebenarnya adalah
transkrip dari video yang di Indonesia baru saja dipublish oleh channel
Youtube Cordova Media pada 18 Desember 2019 lalu yang berdurasi 09:53
menit (link: https://www.youtube.com/watch?v=DXUxzMwNIWQ).
Hingga pukul 11.00 WIT pada Jumat (20/12/2019) video ini telah ditonton oleh
8.593 kali. Angka itu tentu relatif kecil jika dibandingkan dengan video-video
yang viral dan menjadi trending yang dalam sehari dua hari bisa mencapai jutaan
viewer.
Video ini sebenarnya adalah
reproduksi dari video yang telah ditayangkan di Channel Al Jazeera English
sekitar lebih dari setahun yang lalu (25/10/2018) berdurasi 10:01 menit (link: https://www.youtube.com/watch?v=Oc5vVat5iuc).
Namun, video ini juga baru ditonton 103,583 kali hingga Jumat (20/12/2019) pukul 11.00 WIT.
Menurut saya pribadi, laporan
dalam video ini paling bisa menggambarkan kondisi yang terjadi di provinsi
dengan luas 1.664.897 kilometer persegi (provinsi terluas di Tiongkok) itu yang
secara presentase penduduknya terus mengalami perubahan sejak dicaplok oleh
Cina pada tahun 1949. Saat ini, etnis Uyghur berjumlah 45,84% dari total
penduduk di provinsi Xinjiang (21.815.815/ Sensus 2010, atau 23.600.000/
perkiraan 2015) dengan terus berdatangannya etnis terbesar di Cina yakni etnis
Han (kini mencapai 40,48% yang pada awalnya hanya 6% saat kemerdekaan Cina pada
1949). Sisanya adalah muslim dari etnis Kazakh (6,50%) dan Hui (4,51%). Etnis
lainnya mencapai 2,67%.
Langsung saja kita ikuti
transkrip yang sebenarnya adalah terjemahan yang telah dimuat di kedua video
tersebut.
“Keinginan dari Pemerintah
Cina sudah sangat jelas. Mereka ingin menyingkirkan Islam (pada masyarakat)
Uyghur. Mereka ingin menghapuskan warisan etnis Uyghur. Itu sangat sederhana
dan juga sangat jelas,” kata Nury Turkel, seorang Pengacara sekaligus Aktivis
Uyghur membuka video ini.
Di Cina bagian Barat, sejumlah
besar minoritas dibungkam, mereka juga dikontrol secara brutal oleh negara. Dan
banyak pemimpin dunia yang bahkan tidak memperdulikannya. Pengawasan secara
ekstrim, laporan-laporan penyiksaan, dan penahanan lebih dari 1 juta Uyghur
merupakan keseluruhan upaya yang tampaknya dilakukan oleh Cina untuk menghapus
identitas Uyghur dari wilayah perbatasannya.
Uyghur merupakan keturunan dari orang-orang Turki, campuran bangsa Eropa dan Asia Tengah. Sebagaimana diketahui secara historis, mereka (sejak lama) telah mendiami Xinjiang atau Turkestan Timur. Kuliner mereka mendunia dan begitu lezat, dipengaruhi oleh kuliner Cina, Yunani, Persia dan Arab. Mereka mempunyai tari tradisional yang energik, namanya Sanam. Dan juga bahasa yang ditulis menggunakan huruf Arab, Latin dan Cyrilic (Asia Tengah). Kebudayaan yang indah membuat Cina mengeksploitasinya untuk peningkatan pariwisata, namun di saat yang sama menindas penduduknya.
Uyghur adalah penganut Islam
Sunni dan ingin kemerdekaan dari Cina. Cina telah berupaya untuk mengubah ini
selama beberapa dekade.
Kembali ke tahun 1949, di saat
Partai Komunis yang didirikan oleh Mao Zedong mengambil alih Cina. Setelah 5
tahun perang sipil yang mematikan dan seketika itu juga melakukan penyerangan
ke wilayah Xinjiang untuk mencegah Rusia yang ingin merebutnya. Agama dianggap
tidak cocok dengan komunisme, maka penindasan dengan cepat dilakukan terhadap
semua ekspresi agama. Uyghur dihukum karena melakukan ibadah shalat di tempat
publik dan masjid-masjidnya dihancurkan atau diubah fungsinya.
Dengan sokongan dana dari pemerintah, etnis mayoritas Cina Han mulai berpindah ke wilayah ini pada tahun 1950an. Mereka membangun pemukiman dan mendirikan usaha-usaha yang kemudian sukses di Xinjiang. Komposisi penduduk Han lantas menjadi 39% dari populasi. Jumlah itu secara terus menerus meningkat.
“Kita saksikan peningkatan
sejumlah 1.000 persen populasi penduduk Han sejak 1949. Uyghur melihat etnis
Han datang untuk mencaplok tanah-tanah dan mengubah masyarakat mereka. Ini
adalah situasi penjajahan lewat pendudukan oleh pemukim dari luar, di mana mereka
menganggap orang-orang (baru) ini sebagai penjajah dan perebut tanah-tanah
mereka,” ungkap Darrent Byler, seorang antropolog dari Universitas
Washington.
Etnis Han yang miskin dari seluruh Cina secara rutin pindah ke wilayah Barat (Xinjiang) untuk bekerja pada Bingtuan, kelompok paramiliter yang menguasai tanah dari sumber daya alam yang diambil oleh pemerintah dari Uyghur. Didirikan pada tahun 1954 oleh Mao, Bingtuan pada mulanya adalah petani-tentara. Mereka adalah para veteran prajurit yang sebelumnya ditempatkan di Xinjiang untuk melindungi provinsi ini dari Rusia. Rusia tak lagi jadi ancaman, namun kelompok ini terus berkembang. Saat ini ada 3 juta di antara mereka yang kini kokoh dan mengoperasikan lebih dari 2.000 perusahaan di bidang pertanian, energi, keamanan, keuangan dan media.
Pembagian-pembagian
administratif oleh Bingtuan membuat pemerintah pusat membuat kebijakan
anti-Uyghur, di saat yang sama keuntungan mereka dapatkan dari tanah-tanah dan
sumber daya alam yang mereka caplok. Nilai ekspor (dari Xinjiang) mencapai 6,7
miliar dolar pada tahun 2017, termasuk di antaranya hampir seperlima kebutuhan
saus tomat dunia dan berton-ton kapas untuk memenuhi kebutuhan brand-brand
pakaian ternama. Terlebih, Xinjiang juga sangat kaya dengan bahan bakar fosil.
Diperkirakan ada 150 miliar barrel cadangan minyak bumi di wilayah ini, 40%
batubara Cina dan Tarim Basin (Xinjiang Utara) mensuplai 23,5 juta meter kubik
gas alam di tahun 2017. Bahan-bahan mentah ini dikirim ke pusat-pusat
manufaktur Cina. Ini adalah transaksi bernilai multi-milyar dolar di mana semua
mendapatkan keuntungan kecuali Uyghur, di mana mereka dikesampingkan dati
peluang-peluang pekerjaan dan bahkan di beberapa wilayah mereka hanya mendapatkan
12 dolar (170-an ribu rupiah) per bulan.
“Karena semua pekerjaan dan
sumber daya alam diberikan kepada para pemukim etnis Han, Uyghur merasa
hak-haknya dirampas. Mereka merasa, tanah telah dicaplok dari mereka dan tidak
mendapatkan keuntungan sama sekali. Konsekuensi nyata dari itu adalah biaya
hidup menjadi membengkak. Karena semua pemukim Han yang datang ini, mereka
mengembangkan bisnis dan menyebabkan harga-harga kebutuhan meningkat dan
bahan-bahan pokok menjadi jauh lebih mahal. Karena Uyghur dikesampinhgkan dari
sektor pekerjaan, mereka pun tidak mendapatkan penghasilan dan uang untuk
membeli barang-barang tersebut sehingga angka kemiskinan mereka semakin
meningkat,” lanjut Darrent Byler.
Bagi Uyghur, ketidakadilan dan
diskriminasi ini menyebabkan terjadinya kekerasan sporadis terhadap etnis Han.
Pada tahun 80an dan 90an kelompok separatis yang telah terkoordinasi gagal
melakukan pemberontakan terhadap Cina. Yang terbaru terjadi pada tahun 2009,
lebih dari 200 oraang tewas akibat kerusuhan di ibukota (Xinjiang), Urumqi.
Pada tahun 2017, tiga penyerang menggunakan pisau menewaskan 8 orang di Guma,
Xinjiang Selatan.
Pemerintah saat ini memasang
kode QR pada semua pisau yang dibeli Uyghur. Beberapa orang Uyghur juga
berhasil direkrut oleh kelompok kekerasan seperti ISIL dan Al-Qaeda yang
kemudian memberikan Cina peluang untuk membenarkan tindakan (keras) terhadap
mereka sebagai upaya melawan terorisme.
Namun pemerintah memperlakukan
semua identitas Uyghur dengan upaya yang mereka sebut sebagai tiga kejahatan:
separatisme, terorisme, dan ekstrimisme agama. Perempuan Uyghur dilarang
memakai hijab dan pemudanya tidak diizinkan memanjangkan janggut. Puasa
dilarang. Beberapa nama muslim untuk bayi yang baru lahir dilarang dan orang
tua juga dilarang untuk memberikan pendidikan Islam dan Uyghur pada anaknya.
Remaja di bawah 18 tahun tidak
diizinkan pergi ke masjid saat ada ceramah dan Qur’an (yang beredar) harus
disetujui terlebih dahulu oleh negara di mana teks-teksnya diubah agar sesuai
dengan ideologi Partai Komunis. Ibadah haji juga tidak diperebolehkan,
kebebasan bergerak (berpindah) dikekang. Paspor-paspor mereka dirampas pada
tahun 2016 ketika Chen Quangou memerintah di Wilayah Xinjiang. Pekerjaannya
sebelum itu adalah melakukan penindasan terhadap lawan politik di Tibet.
Xinjiang saat ini merupakan wilayah di mana polisi didanai besar-besaran, dan pemerintahnya menggunakan teknologi maju, propaganda dan ancaman penjara untuk mengontrol aksi dan pemikiran Uyghur.
“Di Jum’at subuh ketika
Anda bangun dan berusaha pergi ke masjid, pemerintah Cina akan menstop Anda dan
memaksa Anda untuk melakukan pemindaian mata, dan penggeledahan tubuh, dan
ketika Anda pergo ke masjid, melihat ke atas ada gambar (presiden) Xi Jinping. Anda
tidak diperbolehkan memajang gambar orang lain di masjid, mereka (dipaksa)
untuk mengagungkan bendera merah dan
gambar Xi Jinping di masjid,” papar Nury Turkel.
Pada tahun 2017, Cina
menghabiskan 8,5 miliar dolar untuk memonitor setiap aspek kehidupan masyarakat
Uyghur. Xinjiang dipenuhi dengan ribuan kamera pengawas yang banyak diantaranya
dilengkapi dengan teknologi pengenal wajah. Kendaraan harus diregistrasi untuk
melacak perjalanan-perjalanan mencurigakan di antar wilayah. Wifi sniffer dan
aplikasi yang wajib diinstall untuk memeriksa perangkat mobile Uyghur apakah
ada konten yang dianggap tidak benar secara politik. Uyghur dipaksa untuk
memberikan sampel DNA, data biometrik (wajah, sidik jari, dll) dan informasi
pribadi mengenai kehidupan beragama dan hubungannya.
Negara kemudian memutuskan
apakah mereka ini tidak berbahaya dan informasi ini lantas disisipkan pada
kartu identitas yang harus selalu diperlihatkan di pos pemeriksaan, pom bensin
dan supermarket. Uyghur yang dianggap “tidak aman” dikirim ke penjara atau
kamp-kamp re-edukasi.
Organisasi HAM melaporkan
bahwa ada lebih dari 1 juta Uyghur di kamp tahanan ini. Cina menyebutnya
sebagai pusat pelatihan vokasional. Orang-orang yang ditenpatkan di sini atas
tuduhan perilaku ekstrimisme seperti menikah menggunakan upacara keagamaan,
menolak menonton televisi pemerintah ataupun karena sedikit perubahan
rutinitas, seperti membeli banyak makanan lebih dari biasanya.
“Mereka dipaksa mengibarkan
bendera Cina di luar rumahnya, memajang poster Xi Jinping dan pemimpin
(komunis) lainnya di rumah, dan rumah-rumah mereka diperiksa apakah ada
gambar-gambar Islami tertempel di dindingnya, ataukah ada kutipan ayat suci
Al-Qur’an, gambar masjid atau sejenisnya, yang itu merupakan benda milik
penduduk Uyghur sejak lama. Jika mereka melihat benda-benda tersebut mereka
akan mengatakan, “oh ini adalah ekstrimis atau orang yang mencurigakan.” Darrent
Byler menjelaskan.
Kegiatan-kegiatan dalam kamp
termasuk di antaranya memberikan pujian pada Presiden Xi Jinping, mempelajari
propaganda komunis dan mengkritisi bahasa Uyghur, kebudayaan dan agama mereka
sendiri. Ada juga sejumlah laporan bahwasanya orang-orang yang disiksa,
dipukuli dan bahkan dibunuh di kamp ini. Cina menolak tuduhan pelanggaran HAM
ini.
“Saat ini, Xinjiang
menikmati stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Masyarakat dari
semua kelompok etnis hidup di sana dalam harmoni dan menikmati kebebasan agama
dan keyakinan,” kata Geng Shuang, Juru Bicara Kemenlu Cina.
Tetapi menurut Wikileaks, Cina berhasil melobi Arab Saudi, Mesir, dan lainnya untuk mencegah mereka mengeluarkan pernyataan tentang perlakuan terhadap Uyghur setelah kerusuhan di Urumqi tahun 2009. Itu mungkin menjelaskan kurangnya kecaman global tetapi mungkin ada alasan lain mengapa negara-negara gagal berbicara.
Ada beberapa alasan mengapa negara lain gagal untuk menyuarakan ini? Cina saat ini berada di tahap awal proyek multi-triliun dolar: Belt and Road Initiative. Proyek infrastruktur ambisius yang melalui lebih dari 60 negara dan bertujuan untuk mempermudah dunia untuk melakukan perdagangan dengan Cina. Moyoritas jalurnya melalui Xinjiang, rumah bagi Uyghur. Cina secara tak langsung membayar agar negara-negara ini tetap bungkam. Nagara-negara ini akan mendapatkan pinjaman jutaan dolar untuk membangun infrastruktur, jalan, rel kereta dan jalur pipa. Dan ini cukup untuk membuat mereka tutup mata atas penderitaan yang menimpa Uyghur.
“Tidak ada yang bersuara,
terkhusus dari negara-negara Islam. Di mana Arab Saudi? Di mana Turki? Di mana
Iran? Di mana Raja Yordania, Abdullah? Di mana suara kecaman mereka? Pemerintah
Cina menyebut agamamu sebagai penyakit mental, di mana kecaman kalian?” tutup
Nury Turkel.
Jayapura, 20 Desember 2019
0 Response to "Mengapa Cina Menzalimi Jutaan Muslim Uyghur? Sebuah Laporan Detil dari Al Jazeera"
Post a Comment