Edisi Melancong ke Gunung Tangkuban Perahu: Kawah Ratu dan Air Cikahuripan Nan Tak Terlupakan



Dua tahun tinggal di Kota Bandung tentu tak lengkap rasanya jika tak berkunjung ke sebuah tempat yang menjadi legenda besar yang telah tersiar hingga ke manca negara, yakni Gunung Tangkuban Perahu atau dalam bahasa setempat dinamakan Gunung Tangkuban Parahu. Kami pun mendapatkan kesempatan yang ditunggu-tunggu itu. Liburan semester pertama dari perkuliahan kami manfaatkan untuk menyaksikan langsung salah satu destinasi wisata dunia itu.

Perjalanan dari kompleks Tamansari Bandung tempat tinggal kami tidak sulit untuk menjangkau tujuan ini. Bisa menyewa kendaraan, atau angkot pun sudah cukup untuk menempuh perjalanan kami. Pilih jurusan Cicaheum-Ledeng, lalu sambung dengan kendaraan menunu Subang.



Kami berangkat sekitar pukul 09.00 pagi tiba di lokasi sekitar pukul 11.00. Puncak Gunung Tangkuban Perahu telah ramai oleh pengunjung. Decak kagum  akan pemandangan menakjubkan di hadapan kami, seolah menjadikan mata kami tak mau berkedip. Sebuah maha karya nan maha Indah dari Sang Maha Pencipta begitu sempuna di hadapan penglihatan kami. Lihatlah berulang-ulang, adakah ciptaan Allah yang tiada sempurna?

Di sini, di puncak gunung dengan ketinggian 2084 meter di atas permukaan laut (Mdpl) ini, saat ini kami berada. Kawah Ratu terlihat begitu memesona dengan latar belakang asap putih belerang membumbung tinggi ke angkasa. Bebatuan di dasar kawah tak lagi terlihat warna aslinya, semua disepuh warna putih hingga keabu-abuan, sisa-sisa belerang yang menempelinya. Sudah barang tentu aroma belerang begitu menusuk di hidung.


Semua orang sibuk jeprat-jepret mengarahkan moncong kamera untuk mengabadikan keindahan pemandangan dunia yang begitu menakjubkan dan sekaligus mengabadikan momen dirinya dengan latar belakang kedahsyatan lukisan sang Maha Pencipta. Kami pun tak melewatkan untuk berfoto-foto dengan latar belakang Kawah Ratu.

Sebenarnya kami belum puas di bagian ini tapi kami harus melanjutkan perjalanan menuju ke sisi-sisi lain dari Tangkuban Parahu ini. Berjalan terus ke arah kanan kawah kita akan deretan tenda yang menjual beragam makanan dan souvenir.  Di bagian depannya terdapat ruang informasi, mushola, dan toliet. Karena belum masuk waktu shalat, kami pun melanjutkan perjalanan dengan melihat-lihat sovenir apa saja yang dijajakan.

Aku mengambil satu lukisan kaca. Penjual menyodorkan secarik kertas dan pena, seraya menanyakan nama siapa yang mau diabadikan di lukisan kaca itu. Aku menulis namaku dan nama istriku, ingin mengabadikan cinta kami. Namun, ia butuh waktu menyelesaikannya, maka aku memilih membayarnya terlebih dahulu dan memilih untuk keliling memanfaatkan waktu berusaha memuaskan hasrat akan keindahan ciptaan-Nya. Beberapa sahabat perjalananku nampak membeli kaos dan slayer yang semuanya bergambar pemandangan alam Gunung Tangkuban Perahu.

Setelah hampir 15 menit berjalan di sisi bagian kanan Kawah Ratu, jalan terbagi menjadi dua. Jalan ke kanan menuju goa dan sumber air cikahuripan, sementara ke kiri menuju kawah Upas.

Dorongan ingin menyaksikan seperti apa sumber air cikahuripan yang konon katanya tempat Dayang Sumbi mandi, menjadikan kami memilih berjalan ke arah kanan. Tak berapa lama menyusuri jalan setapak, kami pun bisa menyakskkan langsung goa dan sumber air Cikahuripan itu. Ditingkapi oleh tanaman khas pegunungan dan dataran  tinggi, dari jenis pohon Catingi (Vaccinium varinglaefolium) dan tanaman paku di sanalah tersembul tempat favorit Dayang Sumbi itu. Sebuah bak air dengan dua kamar mandi, sebuah musholah kecil, dan goa. Tulisan di kertas yang dilakban bening terlihat dengan jelas berbunyi, wc Rp. 1.000. Sewa pelita Rp. 1.000. Sewa pelita ini ialah untuk meniti memasuki goa nan gelap guluta itu. Di luar goa terdapat sejumlah makam Belanda. Di sana kami disambut seorang bapak tua, penjaga tempat itu yang sedang menyalakan perapian untuk mengusir hawa dingin pegunungan yang mungkin mencapai 10 derajat celcius itu.

Tak sabar kami ingin merasakan seperti apa dinginnya air cikahuripan itu. Beramai-ramai kami celupkan jemari kami, dan benar saja, air sedingin es itu menusuk hingga ke tulang jemari kami. Kami pun menciduk air dengan telapak tangan, sambil bergidik menahan dingin kami beranikan membasuk wajah kami. Kami bergiliran memanfaatkan dua bilik kamar mandi itu, karena memang sepanjang perjalanan sebagian kami tak sedikit yang menahan buang air kecil. Rasa ingin bolak-balik pipis adalah hal yang biasa di dalam suhu sedingin itu.

Kami berwudhu, lalu shalat berjamaah dalam dua gelombang karena mushola tak mampu menampung kami semua sekaligus. Semua terasa dingin, udara terasa dingin, sajadah mushala dingin, dinding mushala dingin, tempat duduk panjang di depan mushala dingin. Jaket yang kami kenakan tak mampu mengatasinya. Hanya satu tempat yang hangat: di depan perapian yang dibuat pak tua juru kunci tempat itu.

Selepas itu, kami mengambil dua buah pelita. Dan, bismillah kami berombongan masuk ke dalam goa. Saat itu beberapa orang dari rombangan lain bergabung bersama kami. Tinggi goa yang hanya sekitar 1 meter itu menjadikan kami berjalan jongkok atau sambil merunduk. Di tengah goa pemandangan mistis menyambut kami, sekelompok orang sedang melakukan ritual di bagian dalam goa yang dibuat berukuran besar, sekitar 2 x 3 meter persegi. Goa itu didesain seperti lambung, nampaknya, luas di bagian tengah dan sempit di bagian jalan masuk dan jalan keluarnya. Bagian yang luas itu ternyata sudah sering digunakan untuk ritual-ritual seperti itu, demikian info dari bapak penjaga. Mereka membakar kemenyan, memasang sesajen dan membaca berbagai mantra. Suatu praktik yang sangat jauh dari yang dicontohkan Rasulullah. Sangat disayangkan.

Tak seperti bayangan kami, ternyata goa itu cukup pendek, sehingga perjalanan kami hanya butuh waktu beberapa menit sudah mencapai ujung terluar dari goa. Dari sini dengan menyusuri jalan setapak kita akan kembali lagi ke bagian depan goa.

Puas di area ini, kami pun memilih kembali mengingat siang itu hujan mulai turun, sehingga kabut mulai menutupi sebagian wilayah pegunungan. Kami yang tidak semuanya membawa payung pun akhirnya sesekali berteduh di sejumlah bangunan berdinding bambu di sepanjang perjalanan.

Sesampai di bagian awal kunjungan kami, kami pun menikmati sejumlah kuliner yang disediakan di sana. Sembari menunggu hujan reda, kami bernaung di gedung informasi yang menyediakan ruangan dengan bangku-bangku panjang untuk dimanfaatkan para pengunjung.

Kunjungan kali ini pun dirasa cukup, meski kami belum melihat seperti apa wujud kawah upas di wilayah itu yang katanya bisa digunakan untuk merebus telur dan di sisi lainnya bisa digunakan untuk merendam tubuh yang terkena penyakit kulit. Hal yang terakhir ini tentu tidak mengherankan, mengingat selama ini banyak obat kulit yang komposisi utamanya adalah belerang.

Tiba saatnya pulang. Tak perlu bingung untuk kembali ke arah kota Bandung, karena di sini banyak angkot menuju kota Bandung yang telah menunggu penumpang.

Kunjungan pada 5 Januari 2010
Ditulis di Jayapura, 17 Januari 2015

Melancong kali ini bersama: istriku, dan sahabat-sahabatku yang hebat: Eka Murdani, Ali Umar Dani, Johri Sabaryati, Armi Amsiati, Fannia Masterika, dan Nurwulan Fitriyanti.










 Foto-foto: koleksi pribadi, facebook Ali Umar Duri, Facebook Armi Amsiati

0 Response to "Edisi Melancong ke Gunung Tangkuban Perahu: Kawah Ratu dan Air Cikahuripan Nan Tak Terlupakan"

Post a Comment