Sesekali manjakan diri, manjakan
mata. Melihat agung cipta-Nya. Jangan biarkan kesibukkan menghilangkan cerianya
jiwa. Luangkan waktu untuk menyapa indahnya persada. Agar hilang penat dari
raga.
Kesibukkan perkuliahan di sebuah
perguruan tinggi ternama di Kota Bandung, tak boleh membunuh kegemaranku untuk berpetualang,
mengunjungi daerah-daerah baru, mengekplorasi spot-spot unik, mengulik tempat-tempat
menarik di muka bumi. Apalagi, kesempatan selama dua tahun berada di Tanah
Pasundan seperti ini termasuk kesempatan langka. Rugi, jika aku tak
memanfaatkannya untuk tidak memenuhi hobiku yang satu ini. Meski untuk itu, aku
harus pandai-pandai membagi waktu.
Ketatnya program magisterku, tak
memungkinkan semua tempat menarik kudatangi. Memilih di antara tempat-tempat menarik
sudahlah pasti. Harus banyak mendengar dan berdiskusi, agar tempat-tempat
terbaik tak terlewati.
Bersama rekan-rekan di kampus,
kami membuat daftar tempat-tempat favorit wajib kunjung. Waktunya, kami akan
cari nanti di saat akhir pekan yang luang, atau liburan perkuliahan. Di antara
tempat-tempat itu, ada yang dapat ditempuh dalam sehari kunjungan, ada juga yang
membutuhkan waktu beberapa hari dan harus mencari waktu libur panjang perkuliahan,
seperti libur semester. Dalam daftar tersebut sejumlah nama tempat tertulis, seperti
Gunung Tangkuban Parahu dan Pemandian Panas Ciater di Subang, Taman Bunga
Nusantara di Cianjur, bahkan tercatat nama Borobudur di Jawa Tengah dan
Malioboro di Yogyakarta. Di luar nama-nama itu, tercatat sebuah kabupaten di
selatan Kota Bandung yang memiliki banyak destinasi wisata, sehingga tak bisa
dicoret dari daftar tempat wajib kunjung. Tempat itu adalah Kabupaten Garut.
Menurut para sahabat kami dari Tanah Pasundan itu, Garut
menyimpan berjuta pesona, baik yang telah tersingkap, maupun yang masih
tersembunyi untuk dieksplorasi. Mengingat terbatasnya waktu, kami pun sepakat
untuk memilih di antara destinasi wisata ternama dahulu untuk dikunjungi. Dari
berbagai destinasi wisata yang tersedia, kami menyepakati atau tepatnya
mengikut pasrah apa yang diungkapkan sahabat-sahabat kami itu.
Sebab, penjelasan dan alasan yang mereka ungkapkan sudah cukup menjadikan kami
antusias untuk segera mengunjungi lokasi yang disebutkan itu. Tersebutlah nama
lokasi kunjungan kami adalah Kawasan Wisata Candi Cangkuang, dilanjutkan dengan
mandi-mandi di Waterboom Sabda Alam Resort, dan terakhir kuliner di pusat Kota
Garut.
Sumber: Dokumen Pribadi |
Hari yang dinanti pun tiba.
Pagi-pagi sekali kami telah berkumpul di tempat yang disepakati. Dua minibus
membawa rombongan kami dari Kota Bandung menuju kota berjuluk Swiss van Java
itu. Setelah menempuh perjalanan sekitar
2 jam, kami pun tiba di alun-alun Kecamatan Leles. Minibus yang kami tumpangi
pun membelok ke kiri mengikuti jalan desa. Di kanan kiri nampak rumah-rumah khas
desa yang masih terdapat banyak pepohonan di pekarangan, bahkan masih ada satu
dua kapling tempat masyarakat bertanam padi atau sayuran. Sajian pemandangan
seperti ini akan kita nikmati hingga kendaraan kita berhenti di lokasi parkir dengan
papan nama besar bertuliskan “Selamat Datang di Cagar Budaya Candi Cangkuang”.
Di sini, kita akan diminta membayar karcis, Rp5.000 untuk setiap orang dewasa,
dan Rp3.000 untuk anak-anak.
Tak jauh dari lokasi ini kita akan menjumpai danau kecil yang dalam bahasa setempat dinamakan dengan situ. Danau kecil ini pun bernama Situ Cangkuang. Nama cangkuang diambil dari sebuah nama pohon sejenis pandan (Pandanus fircatus), yaitu pohon mendong (cangkuang) yang banyak tumbuh di daerah ini yang biasanya digunakan untuk membuat tikar. Di sana, sejumlah rakit telah siap membawa rombongan menuju Kompleks wisata Candi Cangkuang terletak di tengah situ (danau kecil) Cangkuang dengan biaya Rp5.000 setiap orang atau Rp100.000 untuk menyewa satu rakit.
Tak jauh dari lokasi ini kita akan menjumpai danau kecil yang dalam bahasa setempat dinamakan dengan situ. Danau kecil ini pun bernama Situ Cangkuang. Nama cangkuang diambil dari sebuah nama pohon sejenis pandan (Pandanus fircatus), yaitu pohon mendong (cangkuang) yang banyak tumbuh di daerah ini yang biasanya digunakan untuk membuat tikar. Di sana, sejumlah rakit telah siap membawa rombongan menuju Kompleks wisata Candi Cangkuang terletak di tengah situ (danau kecil) Cangkuang dengan biaya Rp5.000 setiap orang atau Rp100.000 untuk menyewa satu rakit.
Menyeberangi danau dengan
menggunakan rakit bambu adalah pengalaman tersendiri yang takkan terlupakan,
sehingga momen ini pun tak luput dari jepretan kamera untuk
mengabadikannya.
Menyeberangi Situ Cangkuang
selebar sekitar 500 meter itu pun tak perlu waktu lama. Hanya beberapa menit, rakit
yang kita tumpangi telah membawa kita menuju pulau di seberang tempat candi
yang akan kami kunjungi berada.
![]() |
Rakit untuk menyeberangi Situ Cangkuang (Sumber: sini) |
Candi
yang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut
ini merupakan candi dengan corak Hindu. Candi yang dipugar pada tahun 1978 ini
berdiri di atas fondasi berukuran 4.5 meter persegi dengan tinggi fondasi 30 centimeter.
Ukuran kaki Candi setinggi 1.37 meter yang menyokong bagian tubuh candi setinggi
2.49 meter. Di dalam candi terdapat ruangan berukuran 2.24 meter x 2.18 meter
dengan tinggi 2.55 meter. Di dalamnya tersimpan terdapat patung Dewa Syiwa yang
tidak utuh lagi.
Sesampai
di tempat itu, kami semuanya sibuk mematut-matut wajah dan gaya di depan kamera
dengan latar belakang candi. Beberapa rekan kami bahkan berfose seolah-olah
sedang bersemadi ala-ala pendekar zaman baheula untuk mendapatkan
kesaktian. Hehe.
Setelah
merasa cukup dengan berfoto ria, kami pun memilih duduk-duduk di kawasan depan
candi, bersandarkan di beberapa pohon besar nan tinggi menjulang atau
duduk-duduk di akar-akarnya yang diameternya mencapai badan balita itu. Di sini,
sembari menikmati semilir angin dan menghirup udara bersih menyehatkan, kami menyantap
nasi kotak yang kami bawa dari kota. Semua bercengkrama ria, menambah keakraban
persahabatan kami yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Momen itu
pun, kumanfaatkan untuk menambah kemesraan bersama istriku tercinta yang ikut membersamai
kami. Istriku beberapa bulan sebelumnya kuminta menyusul ke Kota Bandung
menemaniku menempuh studiku.
Udara
yang sejuk di bawah rimbunnya pepohonan raksasa dengan latar belakang danau dan
candi adalah eksotisme yang tiada duanya. Berada di tempat seperti ini akan
menimbulkan perasaan nyaman, damai, dan menjadi kenangan tersendiri yang tak kan
terlupa. Kawasan Candi Cangkuang Garut benar-benar membuat hati kami terpaut.
Bersebelahan
dengan candi, tepatnya sekitar 3 meter sebelah selatan candi terdapat makam
kuno yang diyakini sebagai makam Arief Muhammad atau yang biasa dikenal sebagai
“Embah Dalem Arief Muhammad” atau “Maulana Ifdil Hanafi.”
Arief
Muhammad adalah tokoh pendiri Kampung Pulo. Ia adalah penyebar agama
Islam di kawasan ini. Mulanya, Arief Muhammad merupakan salah satu komandan atau
senopati dari kerajaan Mataram Islam. Ia mendapatkan penugasan untuk mengusir
Belanda dari tanah Batavia. Namun, upaya Arief Muhammad mengalami kekalahan
ketika melawan Belanda. Merasa gagal dalam tugas, Arief Muhammad enggan kembali
ke Mataram, dan menyingkir ke pedalaman tanah Pasundan, hingga menempati
wilayah ini. Arief pun menjadi penyebar ajaran Islam di tanah barunya ini.
Keberadaan makam pembawa ajaran Islam yang bersebelahan dengan Candi Syiwa ini menunjukkan adanya harmoni dalam hubungan antar agama, terutama Islam dan Hindu. Tidak adanya resistensi, menjadikan masyarakat Kampung Pulo menerima dengan baik kehadiran Islam di tengah-tengah mereka.
Keberadaan makam pembawa ajaran Islam yang bersebelahan dengan Candi Syiwa ini menunjukkan adanya harmoni dalam hubungan antar agama, terutama Islam dan Hindu. Tidak adanya resistensi, menjadikan masyarakat Kampung Pulo menerima dengan baik kehadiran Islam di tengah-tengah mereka.
Penemuan
Candi Cangkuang berawal dari upaya Drs. Uka Tjandrasasmita dan tim peneliti
Prof. Harsoyo untuk mengungkap isi buku yang berjudul Notulen Bataviaach
Genotscahap yang terbit pada tahun 1893 yang dikutip dari catatan Vordermen. Buku
itu mengungkapkan bahwa terdapat candi yang sudah mulai rusak serta makam kuno
di sekitar Desa Pulo, Leles. Pencarian tersebut dimulai pada tanggal 9 Desember
1966.
Berada di
tempat nyaman yang rimbun dengan pepohonan dan berudara bersih dan segar ini,
membuat kami ingin berlama-lama. Namun, waktu telah menunjukkan sekitar pukul 13.00.
Kami belum melaksanakan Salat Zuhur. Kami pun menuju lokasi Kompleks
Perumahan Adat Kampung Pulo. Di Kampung Pulo ini hanya terdiri dari enam rumah
dan sebuah mushalla. Sesuai dengan ketentuan adat setempat, rumah di
Kampung Pulo ini tidak pernah ditambah atau dikurangi. Rumah adat di Kampung
Pulo ini berbentuk panggung dengan seluruh dinding terbuat dari kayu.
![]() |
Kompleks Rumah Adat Kampung Pulo (Sumber: sini) |
Saat itu, di kawasan ini sedang
musim buah durian. Dengan mengeluarkan beberapa puluh ribu rupiah, kami pun bisa
menikmati durian-durian itu. Bahkan, kami pun diperbolehkan memetik langsung
dari pohonnya.
Perjalanan harus kami lanjutkan,
kali ini menuju ke kawasan Taman
Air Sabda Alam Garut. Taman air ini terletak di daerah pemandian air
panas Cipanas Garut. Di sini kita bisa menikmati seluncuran air (Slider Boom) setinggi ketinggian 12 meter dan
panjang 30 – 40 meter. Aku yang takut ketinggian cukup sekali saja mencobanya.
Ketika teman-temanku mengajakku kembali, aku menolaknya. Hiii..takut! Tentu
tidak dengan Anda yang menyukai tantangan ketinggian. Sebelum masuk ke
lokasi pemandian ini pun aku sempat menguji adrenalin dengan menaiki roller
coaster.
Tak
terasa, kunjungan kami ke Garut harus segera berakhir. Selepas maghrib, kami
pun menikmati berbagai sajian menu kuliner di Garut. Tak lupa kami memborong dodol
Garut yang merupakan jajanan khas kota ini sebagai buah tangan. Setelah kampung
tengah terisi dan oleh-oleh sudah di tangan, kami pun harus rela meninggalkan Garut
yang masih menyimpan berbagai destinasi wisata menawan lainnya. Semoga suatu
saat, kami bisa memiliki kesempatan untuk menjelajahi dan mengeksplor
tempat-tempat wisata menarik lainnya di kota yang dijuluki oleh Presiden
Soekarno sebagai “Kota Intan”, kota yang indah, tertib, aman dan nyaman ini.
Jika
berkesempatan kedua kali ke Garut, aku pun masih mau mengulang suasana tenang,
aman dan damai di Candi Cangkuang. Selain, tentu saja, ingin juga menjelajahi
kawasan-kawasan terkenal lainnya, seperti Situ Bagendit, Kawah Talaga Bodas, Kawah
Kamojang, Karacak Valley, Kampung Sampireun, Gunung dan Kawah Papandayan, Curug
Sang Hyang Taraje, Kamojang Ecopark, Pantai Santolo, Pantai Sayang Heulang, Pantai
Puncak Guha, Pantai Ranca Buaya, Pantai Taman Manalusu, Pantai Cicalobak, dan Curug
Orok. Oh, ternyata, daftar tempat-tempat yang belum aku eksplorasi di Garut masihlah
demikian panjang.
Garut punya semua. Dari mulai gunung, danau, pantai, taman, perkebunan teh, hingga pemandian air panas. Sebab, Garut adalah surga. Ia bagai putri molek yang menarik hati setiap yang memandang. Yuk, jangan ragu lagi! Datang dan nikmati sepenggal tanah surga yang jatuh ke bumi yang bernama Garut! Dijamin, sahabat semua takkan menyesal menjejakkan kaki di "kota dodol" ini, sebagaimana diriku yang mengharapkan memiliki kesempatan kedua, ketiga, dan keempat. Sebab, hatiku telah terpaut pada keindahan dan kemolekkan Garut. Pada keramahtamahan penduduknya. Pada keasrian dan kedamaian alamnya. Semoga harapanku bisa jadi kenyataan. Aamiin.
Garut punya semua. Dari mulai gunung, danau, pantai, taman, perkebunan teh, hingga pemandian air panas. Sebab, Garut adalah surga. Ia bagai putri molek yang menarik hati setiap yang memandang. Yuk, jangan ragu lagi! Datang dan nikmati sepenggal tanah surga yang jatuh ke bumi yang bernama Garut! Dijamin, sahabat semua takkan menyesal menjejakkan kaki di "kota dodol" ini, sebagaimana diriku yang mengharapkan memiliki kesempatan kedua, ketiga, dan keempat. Sebab, hatiku telah terpaut pada keindahan dan kemolekkan Garut. Pada keramahtamahan penduduknya. Pada keasrian dan kedamaian alamnya. Semoga harapanku bisa jadi kenyataan. Aamiin.
Jayapura, 22 Oktober
2019
Profil Penulis:
Sunardi adalah seorang guru Fisika di MA DDI Kota Jayapura, Papua. Ia menyelesaikan pendidikan di Program Studi Fisika dari Universitas Cenderawasih tahun 2004, dan pasca sarjana di bidang yang sama dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2011. Dalam bidang tulis menulis, Sunardi pernah menyabet juara pertama Lomba Penulisan Esai untuk Guru Tingkat Nasional pada tahun 2007 yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah bekerja sama dengan Maskapai Lion Air. Tulisannya saat itu berjudul “Menyongsong Fajar Baru Pendidikan di Papua.” Ia juga menjadi finalis Writingthon Asian Games 2018 dengan tulisan berjudul, "Asian Games 2018, Cerita Terindah Bagi Papuaku." Yang terbaru, ia menjadi Juara Harapan 5 dari 115 juara dalam Lomba Penulisan Resensi Puisi Esai, dengan tulisan berjudul, "Selamat Datang Angkatan Puisi Esai Papua."
ReplyDeletePenuh sejarah dan makna ya mas, semoga dilestarikan
Aamiin..makasih sdh mampir ya kak
DeleteTempat yg sejuk.semoga pariwisata garut maju
ReplyDeleteAamiin..makasih ya bu
Delete