Menurut Al-Quran, Beginilah Akhir Kepemimpinan yang Memecah-Belah Rakyatnya

Menurut Al-Qur’an, Beginilah Akhir Kepemimpinan yang Memecah-Belah Rakyatnya
Sebuah Intisari Tafsir Surat Al-Qashash 1-6

Oleh: Sunardi

Sahabat, tulisan ini bukan hendak menghakimi atau menyalah-nyalahkan sebuah rezim. Tetapi, ia hendak memaparkan suatu pelajaran dari Al-Qur’an akan sebuah tipe kepemimpinan yang harus dihindari bagi siapa saja yang akan menjadi pemimpin atau sedang berperan sebagai pemimpin atau penguasa. Sebab, bila tidak mampu menghindari tipe atau karakter kepemimpinan seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an ini, Allah sendirilah yang akan turun tangan langsung untuk mengakhirinya. Pelajaran ini, bukan hanya ditujukan untuk seseorang atau golongan tertentu, melainkan untuk semua orang – termasuk saya dan Anda – yang tentu saja tiada dapat menduga suatu saat akan mendapatkan amanah untuk menjadi seorang pemimpin atau penguasa.

Dalam Surat Al-Qashash (Surat ke-28) ayat 1-6, Allah menjelaskan sebuah tipe kepemimpinan yang sewenang-wenang, memecah-belah rakyatnya, menindas golongan yang berseberangan dengannya, dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaannya. Allah pun menjelaskan bagaimana kesudahan dari kepemimpinan yang seperti itu.

Marilah kita mulakan mengeja satu per satu ayat-ayat tersebut, dengan melihat bagaimana tafsirnya menurut Ibnu Katsir.

Thaa siin miim. (Al-Qashash: 1).
Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Quran) yang jelas. (Al-Qashash: 2).
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa maknanya yaitu ayat-ayat Kitab Al-Qur’an adalah jelas dan gamblang, serta menerangkan hakikat-hakikat semua perkara dan pengetahuan segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi.

Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. (Al-Qashash: 3).
Ayat ini semakna dengan Firman Allah dalam surat Yusuf ayat 3:
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (Yusuf: 3)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksud dari kedua ayat ini yaitu kami menceritakan kepadamu kisah tersebut sesuai dengan kejadiannya, seakan-akan kamu menyaksikannya dan seakan-akan kamu menghadiri peristiwanya.

Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, membunuh anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al-Qashash: 4).
Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Maksudnya, bersikap sombong, sewenang-wenang, dan melampaui batas.

dan menjadikan penduduknya berpecah-belah. Yakni terbagi menjadi beberapa golongan yang masing-masing golongan, dia (Fir’aun) kuasai menurut yang dikehendakinya untuk memperkuat kepemimpinannya. Bahkan, ia tak segan membenturkan satu golongan dengan golongan lainnya.

dengan menindas segolongan dari mereka. Yaitu menindas Bani Israil yang pada masa itu merupakan orang-orang yang terpilih di masanya. Mereka dikuasai oleh Raja Fir’aun yang sewenang-wenang lagi pengingkar kebenaran. Dia mempekerjakan mereka untuk pekerjaan yang kasar (rendah), memperbudak mereka sepanjang siang dan malam untuk bekerja padanya, juga pekerjaan rakyatnya.

membunuh anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Hal ini dilakukan sebagai penghinaan terhadap mereka (Bani Israil), sekaligus untuk menangkal rasa takutnya terhadap mereka. Karena dikhawatirkan akan muncul seorang pemuda dari kalangan mereka yang akan menjadi penyebab kehancuran dirinya dan lenyapnya kerajaan di tangan pemuda tersebut, seperti diramalkan oleh orang-orang yang dekat dengannya dari kalangan pembantu kerajaannya.

Dalam tafsir kekinian mungkin tidak hanya dengan membunuh jiwanya, tetapi bisa juga dalam bentuk  memenjarakan anak laki-laki atau membatasi dengan berbagai aturan yang tujuannya adalah melemahkan anak-anak yang diduga akan bisa meruntuhkan kekuasaannya. Membiarkan anak-anak perempuan, mungkin bisa dimaknai seperti membiarkan munculnya gerakan kelompok perempuan (feminisme) yang menuntut diterapkannya aturan-aturan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang diimpor dari barat yang sudah jelas-jelas adalah aturan yang buruk, seperti membolehkan perempuan menikah dengan perempuan, menggugat hak kepala keluarga yang hanya ada pada laki-laki, mempertanyakan perbedaan hak waris antara laki-laki dan perempuan, dan aturan-aturan sejenisnya.

Akan tetapi, sikap hati-hati itu – dengan melemahkan kekuatan kaum yang diduga bisa meruntuhkan kekuasaannya – tiada manfaatnya untuk menghadapi takdir yang telah ditentukan. Karena, apabila takdir Allah telah datang, maka kedatangannya tiada dapat ditangguhkan lagi, dan bagi tiap-tiap sesuatu itu ada batasannya yang tertentu. Karena itu disebutkan dalam firman selanjutnya:

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), (Al-Qashash: 5).
Dan dilanjutkan dengan ayat

dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu. (Al-Qashash: 6).
Kedua ayat ini senada dengan Firman Allah berikut ini:
Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka. (Al-A’raf: 137)

Justru Allah akan memberikan kekuasaan kepada kelompok yang tertindas itu, dengan didahului oleh takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Tentu saja kekuasaan yang diberikan kepada kelompok yang tertindas itu bukanlah diberikan secara gratis, melainkan setelah mereka memperjuangkannya dengan penuh kesabaran. Sebagai mana juga disebutkan dalam Firman Allah berikut ini:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Ar-Ra’ad: 11).

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Fir’aun dengan segala upayanya dan kekuatan yang ada padanya bermaksud menyelamatkan dirinya dari Musa. Tetapi, hal tersebut tidak ada manfaatnya dalam menghadapi kekuasaan Allah, Raja Yang Maha Besar yang perintah-Nya tidak dapat ditolak dan tidak dapat dikalahkan takdir yang ditetapkan-Nya. Bahkan keputusan Allah berlangsung dan guratan qalam takdir-Nya sudah tersurat sejak zaman azali, bahwa kebinasaan Fir’aun harus di tangan Musa. Bahkan, bayi yang kamu khawatirkan kemunculannya, yang karenanya engkau telah membunuh ribuan bayi, justru kemunculannya dan tempat pemeliharaannya berada di tempat tidurmu dan di dalam rumahmu, serta makan dari makananmu. Karena engkau sendiri yang memeliharanya, memanjakannya, dan menyayanginya. Tetapi kematian dan kebinasaanmu serta kebinasaan balatentaramu berada di tangannya. Demikian itu agar kamu ketahui bahwa Tuhan seluruh langit yang tinggi, Dialah Yang Mahaperkasa, Mahamenang, Mahaagung, Mahakuat, Mahamulia, lagi Mahakeras siksaan-Nya. Segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.

Hal ini sebagai perumpamaan, bahwa siapa pun pemimpin yang melakukan tindakan sewenang-wenang, memecah-belah penduduknya sesuai kepentingan politiknya, menindas golongan besar dari rakyatnya yang tidak sejalan dengan dirinya, melemahkan kaum pria yang dicurigai akan menumbangkan pemerintahannya, dan membiarkan kaum perempuan dengan segala tindakan yang mereka sukai meski bertentangan dengan kodratnya, maka Allah pasti akan mengakhiri kepemimpinannya.

Semoga kita bisa mengambil ibrah (pelajaran) dari ayat-ayat Allah di atas, bahwa siapa saja yang menjalankan kepemimpinan yang jauh dari tuntunan Al-Qur’an, sesungguhnya ia sedang menggali kuburnya sendiri untuk mengakhiri kepemimpinannya. Sebaliknya, jika kepemimpinan itu dijalankan berdasarkan petunjuk Ilahiyah, justru Allah sendirilah yang akan meneguhkan kepemimpinan itu.

Sahabat, sekali lagi, tulisan ini bukan hendak menghakimi atau menyalah-nyalahkan sebuah rezim atau seorang pemimpin. Melainkan, ia hendak mengajak bagi siapa saja akan dan sedang mendapat amanah kepeminpinan, agar saat kelak memimpin atau menjalankan kepemimpinannnya saat ini bisa menjauhi tipe kepemimpinan yang buruk sebagaimana disampaikan dalam ayat-ayat di atas. Pelajaran ini, bukan hanya ditujukan untuk seseorang atau golongan tertentu, melainkan untuk semua orang – termasuk saya dan Anda – yang tentu saja tiada dapat menduga suatu saat akan mendapatkan amanah untuk menjadi seorang pemimpin atau penguasa.

Semoga tulisan ini menambah beratnya timbangan pahala bagi penulis, orang tua, dan keluarga besar penulis, serta Anda semua para pembaca. Aamiin.

Jayapura, 3 April 2017

0 Response to "Menurut Al-Quran, Beginilah Akhir Kepemimpinan yang Memecah-Belah Rakyatnya"

Post a Comment