Mulih Diluk Sambungkan Kasih Sayang





Mulih diluk, begitu tradisi yang muncul bagi kaum perantau untuk menengok sesaat kampung halamannya. Mereka merantau bisa karena alasan pendidikan, alasan penempatan kerja, atau juga alasan mengadu nasib alias mencari penghidupan dan pekerjaan yang layak. Mulih diluk dilakukan untuk terus menjalin hubungan dengan kampung halaman dan semua orang-orangnya yang telah lama ia tinggalkan.

Mulih diluk, mulai populer saat pembangunan terasa timpang di negeri ini. Daerah-daerah perkotaan dibangun secara pesat. Pusat-pusat perekonomian, pendidikan, perkantoran pemerintah maupun swasta, dan berbagai perusahaan melesat pertumbuhannya, sementara di daerah pedesaan atau perkampungan dibiarkan seolah tak tersentuh. Kala itu, masyarakat kampung pun berbondong-bondong menuju perkotaan.

Mulih diluk yang disingkat menjadi mudik merupakan kata dalam bahasa Jawa yang artinya pulang sebentar saja. Saat ini mulih diluk lebih dikenal dengan mulih udik yakni pulang kampung. Dinamakan mulih diluk karena pulang kampungnya hanya sebentar saja, terutama saat hari raya tiba. Dinamakan mulih udik karena yang dituju adalah udik. Dalam KBBI, udik diartikan sebagai (daerah) di hulu sungai, atau daerah berupa desa, dusun, dan kampung.

Mulih diluk dalam upaya untuk menjaga silaturahim dengan karib kerabat dan handai taulan di kampung halaman tentu sangat dianjurkan dalam agama. Dalam hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maha hendaklah ia menyambung hubungan silaturahim.”

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang senang diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahim.” (Mutafaqun ‘Alaih)

Silaturahim ini berlaku umum, bisa ditujukan kepada siapa pun. Namun, secara khusus silaturahim sangat dianjurkan kepada keluarga yang masih memiliki hubungan darah atau nasab. Sebagaimana kata dasar silaturahim itu yang diambil dari dua kata “shilah” dan “rahim”. Shilah artinya menyambungkan dan rahim berarti rahim wanita atau kekeluargaan. Jadi makna awal silaturahim ini semula adalah lebih ditujukan kepada keluarga atau yang masih memiliki hubungan darah. Kemudian silatuhim ini diserap dalam bahasa Indonesia tanpa mengubah makna asal yaitu menyambungkan persaudaraan, baik persaudaraan dari satu rahim (satu darah kandung) ataupun dari satu rahim aqidah (Islam), dan semua orang di dunia ini. Menyambung tali persaudaraan dengan manusia di dunia dihubungkan dengan silaturahim sebab manusia sedunia juga berasal dari satu rahim manusia pertama (Hawa) tanpa membedakan ras, suku bangsa dan agama serta kepercayaan.

Mulih diluk alias mulih udik, sebuah tradisi yang sangat dianjurkan dalam agama dan tentu saja bernilai pahala di sisi-Nya. Maka tak mengherankan jika ribuan bahwa jutaan jiwa rela berdesak-desakkan demi bersua dengan sanak keluarga dan tetangga. Mereka sedia bermacet-macet ria di jalan raya, demi bersungkem kepada orang tua dan saudara tua. Berbagai moda transportasi terpakai semua, baik darat, laut, maupun udara. Semua demi menyambungkan kasih sayang kepada keluarga tercinta.

Agenda mudik yang sangat dianjurkan, selain saling memberi hadiah adalah saling menasehati dalam ketakwaan. Hal ini menjadi penting, sebab di antara keluarga ternyata bisa juga menjadi musuh dalam masalah keimanan dan ketakwaan ini. Sebagaimana kisah Nabi Nuh a.s. dan putranya Qan’an. Ketika Nabi Nuh dan para pengikutnya beserta tiga orang putranya Sam, Ham dan Yafits sudah berada di atas kapal, Qan’an yang kafir menolak ajakan ayahnya untuk menaiki kapal. Padahal, saat itu air bah telah semakin meninggi yang menghempas dan menenggelamkan apa pun yang dilaluinya. Akibatnyanya Qan’an pun ikut tenggelam bersama kaum Nabi Nuh a.s. yang kafir.

“Ya Allah ia adalah anakku,” keluh Nabi Nuh a.s. Allah pun berfirman: “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik.” (QS. Hud: 45).

Mendengar Firman Allah SWT sedemikian, Nabi Nuh pun paham bahwa anaknya telah memutus tali kekeluargaan sekaligus memutus tali keimanan. Qan’an bukan lagi putranya. Nabi Nuh a.s. pun harus merelakan putranya tersebut diazab oleh Allah SWT.

Demikianlah agenda mulih diluk juga semestinya diisi juga dengan saling menasehati dan mendakwahi kepada jalan ketakwaan dan keimanan, bukan hanya semata saling menziarahi. Iklim saling ini menjadi pondasi penting bagi tumbuhnya keluarga yang kokoh dalam ketakwaan dan keimanan. Keluarga yang kokoh ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagi terbangunnya masyarakat yang bertakwa yang saling berpadu untuk menuju masyarakat yang dirahmati oleh Allah SWT.

Selamat mulih diluk alias mulih udik bin mudik. Selamat menyambungkan kasih sayang dengan keluarga tercinta.
Sorong, 24 Juni 2017

0 Response to "Mulih Diluk Sambungkan Kasih Sayang"

Post a Comment