Masjid Agung Ash-Shalihin, Karenamu, Aku Sempat Dikira Seorang Nasrani #NoteFromJayapura

Berkaitan dengan masjid yang satu ini, aku pernah dikira seorang nasrani. Na'udzu billahi min dzalik. Apa pasal? Sebab pada sekitar awal September hingga awal Desember 1999 di saat awal aku menempuh pendidikan di Universitas Cenderawasih, setiap Ahad pagi aku telah berpakaian rapi dan tak lupa menyandang kitab sedikit tebal berwarna hijau gelap dan telah meninggalkan kompleks Pondokan Kramsis tempat kami indekos pada sekitar pukul 08.30 pagi dan baru kembali pada sekitar ba'da Dhuhur.

"Temanmu itu seorang nasrani ya?" tanya tetanggaku pada teman indekosku.
Tetanggaku itu mengira bahwa aku setiap Ahad pagi itu menuju gereja. Dugaannya dikuatkan dengan penglihatannya kepadaku yang selalu menenteng kitab tebal yang menurut perkiraannya ialah Al-Kitab alias Injil.

Sahabatku itu pun menjelaskan bahwa aku seorang muslim. Setiap Ahad pagi itu aku menuju Masjid As-Sholihin untuk mengikuti program mentoring atau pendampingan mata kuliah Agama Islam. Sedangkan yang kutenteng itu adalah Kitab Suci Al-Qur'an dan terjemahannya.

Saat diceritakan oleh sahabatku perihal percakapannya dengan tetanggaku itu, kami berdua tak mampu menahan tawa. Geli rasanya. Orang berangkat ke masjid dikira ke gereja. Orang membawa Al-Qur'an dikira kitab Injil.

Namun, aku sedikit memaklumi akan keheranan tetanggaku itu, sebab program mentoring pendampingan mata kuliah Agama Islam memang sesuatu yang baru di Jayapura dan juga di kampusku. Sedangkan Al-Qur'an terjemah yang relatif menyerupai Injil itu, karena saat itu terbitan terjemahan Al-Qur'an masih sangat terbatas dan tak bisa dihindari aku membeli kitab terjemah yang kenampakkannya demikian.  Al-Qur'an terjemah lainnya yang tersedia saat itu adalah terbitan Departemen Agama yang berwarna coklat dan secara ukuran lebih besar dan lebih berat lagi, sehingga sedikit sulit untuk dibawa mobile.

Dugaan tetanggaku itu juga dikarenakan ia shalat 5 waktunya tidak dilaksanakan di masjid kompleks kami. Kalau shalat fardhunya di masjid kompleks, pasti akan menjimpaiku, anak rajin ini (hehe..) di shaf shalat 5 waktu yang biasanya tak lebih dari satu shaf laki-laki dan satu shaf jamaah perempuan. Namun masjid akan penuh saat shalat Jumat dilaksanakan.

Kembali ke perihal kegiatanku di Masjid Ash-Shalihin. Di sinilah di lantai 2 masjid aku bersama dengan rekan-rekan mahasiswa muslim dari FKIP setiap Ahadnya mendaras kandungan Al-Qur'an. Kami belajar mengenal Tuhan kami, mengenal Rasulullah dan bahkan mengenali diri kami sendiri. Untuk apa kami diciptakan dan akan ke mana kami kembali? Di bawah bimbingan murabbi pertama kami ketika itu, Ust Muhammad Rowi, S.Pd, kami akhirnya mengenal bagaimana Islam yang sesungguhnya.

Saat program mentoring itu usai, kami meminta kepada ust Rowi untuk membuat program lanjutannya di kompleks tempat tinggal kami. Aku dan sahabatku pun mengunpulkan sejumlah mahasiswa di kompleks untuk setiap pekannya berkumpul di indekos kami untuk mengkaji nilai-nilai agama dan bagaimana penerapannya bagi diri kami. Dahsyat oengaruh pertemuan pekanan itu bagi kami, sahabatku yang sejak awal semester telah jadian dengan seseorang akhirnya dengan gagah berani ia putuskan. Demikian juga dengan diriku, yang saat itu mulai dekat dengan seseorang yang lain, juga harus ikhlas melepaskannya. Alhamdulillah.

Di tahun berikutnya, aku setiap pekannya hadir kembali di masjid ini dalam forum mentoring Agama Islam ini pula. Namun kali ini adalah menjadi seorang mentor bergantian dengan sahabatku memegang satu kelompok.

Di masjid As-Sholihin ini pula, kami beberpa kali melakukan rapat bersama sahabat-sahabat dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyan (IMM) untuk merencanakan sejumlah program kegiatan. Di IMM ini, aku sudah sempat mengikuti Darul Arqam I, yang selanjutnya keterlibatanku harus berhenti, dikarenakan kami selanjutnya aktif merintis berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Papua.
Selanjutnya, sejumlah kegiatan kami jalani di Masjid ini, dari mulai pesantren kilat bagi para pelajar, hingga melakukan pembinaan rutin pekanan para mutarabbi kami.

Kini Masjid Agung As-Sholihin telah berbenah, bersolek lebih cantik dan indah. Menaramu nampak tinggi menjulang, dinding-dindingmu berpahatkan ukiran-ukiran indah, demikian juga di dalam masjid, kini terpasang 6 buah pendingin ruangan (AC Central) yang mampu menghalau tingginya suhu siang hari di kota ini. Dengan penampilanmu yang baru ini, tentu kegiatan-kegiatan ke-Islaman di sini lebih semarak lagi. Lebih memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi banyak orang untuk tunduk khusuk mengabdi, bertaqarub kepada Ilahi. Insya Allah.

Jayapura, 5 Syawal 1439 H/
19 Juni 2018

NB: Sahabatku itu bernama Ustl Sumedi, Amd.Tek, S.Ag, S.Kom, MM
Aku sudah sangat jarang mengunjungi masjid ini, karena aku lebih bayak beraktivitas di arah Jayapura Selatan dan Jayapura Utara, sedangkan Masjid As-Sholihin berada di wilayah Abepura.

0 Response to "Masjid Agung Ash-Shalihin, Karenamu, Aku Sempat Dikira Seorang Nasrani #NoteFromJayapura"

Post a Comment