Bermula dari kebiasaan ibu kami mendongeng bagi kami anak-anaknya
saat masih kecil dahulu. Hampir setiap malam ibuku memiliki waktu untuk
menyenangkan kami dengan cerita pengantar sebelum tidur. Mengantuk
seperti apa pun, ibu harus tetap menunaikan ‘kewajibannya’ bagi kami
tersebut. Meski sesekali ia mengeluh, seperti ketika didera lelah atau
kantuk berat. Tetapi tak sekali pun kami mentolelir baginya untuk
istirahat dari tugas hariannya menyampaikan dongeng bagi kami
anak-anaknya. Cerita yang disampaikannya saat itu bersumber dari cerita
rakyat dan cerita tradisional, yang saat ini baru kutahu masih relatif
minim pesan-pesan moralnya.
Sejumlah cerita yang menjadi santapan kami
setiap malam seperti Timun Emas, Ande-Ande Lumut, Panji dan Ayam Jago
Ajaibnya, Si Kancil, dan Bapak Pokeng. Terkadang di tengah cerita ibu
kami tiba-tiba berhenti, ternyata ia telah terlelap tak mampu menahan
kantuk. Kami pun mengguncang-guncang tubuhnya sambil merajuk meminta ibu
melanjutkan ceritanya. Kalau ia menawar untuk melanjutkan ceritanya di
esok hari kami pasti akan protes keras. Walhasil ibu pun meneruskan
dongengnya, walau ia tekuk jalan ceritanya agar lebih cepat selesai.
Demikianlah hampir setiap malam ibu kami mendongeng bagi kami.
Ketertarikanku yang besar pada bidang dongeng mendongeng ini lantas
menjadikanku beberapa kali mengikuti pelatihan mendongeng langsung dari
ahlinya. Beberapa orang yang berjasa membagikan ilmu mendongeng, selain
tentu saja ibuku, yaitu kak Agus Fattah dari Sekolah Semut di Depok, kak
Irwan Rinaldi dari Komunitas Ayah, kak Eka Wardhana penulis buku-buku
cerita anak, dan juga kak Awwam pemilik Kampung Dongeng dari Jogja. Dari
mereka aku banyak belajar teknik-teknik mendongeng, meski kemudian aku
memilih teknik dan caraku sendiri dalam menyampaikan dongeng atau
cerita.
Ilmu mendongeng yang membuncah-buncah seolah mendapat penyalurannya
ketika putri pertama kami lahir. Cukup lama memang kami menantikan
kehadirannya, hampir 4 tahun lamanya. Sejak pekan pertama kelahirannya
aku dan istriku sudah mulai mendongenginya. Mungkin bagi sebagian
kalangan menganggap aneh apa yang kami lakukan ini. Aku sendiri tidak
menyanggah anggapan mereka pun tidak membenarkan. Pasalnya, anak kami
yang sejak hari pertama kelahirannya sudah memiliki pandangan yang fokus
– kata dokter akibat otak penglihatannya mendapat asupan DHA yang cukup
saat di kandungan – menunjukkan antusiasme saat aku mendongenginya.
Sejumlah buku cerita khas untuk balita, dengan komposisi gambar lebih
dominan daripada narasi ceritanya, telah kami siapkan jauh hari sebelum
kelahirannya. Kami memilihkan buku-buku dengan gambar dan warna yang
mencolok. Buku paling favorit di bulan pertama usianya ialah cerita Umar
bin Khattab dan Mush’ab bin Umair. Kedua buku karya kak Eka Wardhana
ini memiliki gambar ilustrasi yang menarik dengan pilihan warna mencolok
sehingga mampu menarik perhatian putri kami. Umar bin Khattab
digambarkan memakai jubah berwarna merah cerah, sementara Mush’ab bin
Umair memakai jubah biru.
Aku bisa bercerita sembari ku gendong putriku, terkadang aku pangku,
tak jarang pula sembari sama-sama berbaring. Aku buka buku itu tepat
dalam jarak pandangnya, aku pun mulai bercerita. Sesekali aku menunjuk
ke gambar tokoh yang sedang kuceritakan dan di waktu yang lain aku
menunjukkan ekspresi dan gerak tubuh sebagai mana isi cerita. Demikian
juga intonasi kalimatku, kusesuaikan dengan ekspresi tokoh dan jalan
ceritanya. Tak selamanya aku membaca narasi yang tertera, lebih menarik
aku melakukan berbagai improvisasi dengan gaya ceritaku sendiri.
Antusiasme putriku terlihat dalam kegiatan mendongeng dengan media buku
ini. Pandangannya terfokus pada gambar yang aku tunjuk atau pun ekspresi
wajah dan gerak tubuhku.
Selain menggunakan buku, aku juga biasa mendongeng dengan menggunakan
sejumlah boneka, sebagaimana yang diajarkan oleh guru-guruku dalam
dunia perdongengan di atas. Seolah boneka-boneka itu bisa berbicara dan
berdialog satu dengan lainnya. Ada banyak boneka koleksi putri kami,
dari boneka sejumlah hewan hingga boneka tokoh-tokoh kartun. Dari sini
banyak cerita yang dapat kami eksplore.
Tidak hanya menggunakan buku dan boneka, tangan kosong pun bisa aku
gunakan sebagai media untuk bercerita. Tangan kanan dan tangan kiri bisa
menjadi berbagai karakter dan tokoh yang dikehendaki. Kadang tangan
kanan menjadi kucing ‘mamak’, sedang tangan kiri menjadi kucing ‘anak’.
Bisa juga tangan kanan menjadi jerapah, sementara tangan kiri menjadi
gajah. Dari dua karakter tangan itu kita bisa bercerita apa pun,
menampilkan konflik antara keduanya dan bagaimana memberikan solusinya.
Terkadang pula tubuh ini menjadi burung raksasa, sementara putri kami
menjadi penunggangnya. Cerita rekaan ‘Putri Haniiah dan Burung Raksasa’
pun bisa diceritakan sembari diperagakan. Haniiah ialah nama panggilan
putri kami. Dikisahkan bahwa setiap hari sang putri terbang mengendarai
burung raksasa berkeliling dari kampung ke kampung untuk menemukan
orang-orang malang yang membutuhkan pertolongan. Ketika dilihatnya dari
ketinggian di udara terdapat orang yang membutuhkan pertolongan sang
putri pun segera memerintahkan burung raksasa untuk menukik ke bawah
untuk memberikan jalan keluar.
Gerakan-gerakan khas dalam cerita ini
seperti ketika hendak terbang, sang putri ‘anak kami’ melompat ke atas
punggung lalu kaki burung raksasa yang semula berlutut pun menjejak bumi
dan melompat seolah-olah sang burung mulai mengangkasa. Ritual
selanjutnya selepas tinggal landas ialah sang burung raksasa akan
bermanuver memutari beberapa kali kampung sang putri sembari
menceritakan indahnya pemandangan mata dari atas udara sebelum melesat
ke angkasa menunaikan tugas menjelajahi kampung-kampung tetangga.
Demikianlah salah satu dari banyak waktu-waktu berharga yang kami
lalui bersama si buah hati. Cerita-cerita yang kami sampaikan adalah
cerita-cerita yang penuh dengan pesan moral pembangun jiwa dan karakter.
Umumnya cerita-cerita itu bersumber dari kisah para Nabi dan Rasul,
kisah para Sahabat Rasulullah Muhammad saw, dan cerita ulama-ulama
salaf. Sejumlah cerita favorit putri kami seperti kisah Nabi Musa dan
Fir’aun, kisah Nabi Yusuf dan kisah Ashabul Ukhdud.
Terkadang aku pun menyampaikan cerita rekaan untuk menanggapi masalah
yang dihadapi putri kami kesehariannya. Seperti saat ia usia playgroup,
putri kami pernah tak bersedia ketika ditunjuk menjadi pemimpin apel
pagi karena malu katanya. Saat itu kami pun membuat cerita rekaan ‘Tupai
dari Pemalu jadi Pemberani”. Di waktu yang lain, ketika putri kami
merasa malas melanjutkan hafalan Al-Qur’annya, kami pun menyampaikan
cerita ‘Hafidzah yang Disayangi’. Hafidzah sendiri adalah serial cerita
rekaan kami dengan tokoh seorang putri bernama Hafidzah yang disayangi
semua rekan-rekannya. Salah satu episodenya misalnya, ketika Hafidzah
dan rekan-rekannya berkemah tiba-tiba datang jin mengganggu. Semua
rekan-rekannya sepakat menujuk Hafidzah untuk mengusir jin dengan bacaan
hafalan Al-Qur’annya. Lantunan suara merdu Hafidzah mampu mengusir jin
jahat itu. Demikian ringkasan salah satu episode dongeng serial Hafidzah
hasil rekaan kami, tentu saja dengan menambahkan bumbu-bumbu indahnya
pemandangan pegunungan tempat berkemah, dan sejumlah aktivitas ketika
berkemah. Serial Hafidzah ini kami nilai mampu mengatasi rasa malasnya
untuk menghafal Al-Qur’an, meski di akhir-akhir ini ia menolak serial
rekaan yang satu ini. Nampaknya ia sudah tahu, konsekuensi dari cerita
ini ialah ia harus kembali menekuni hafalan Al-Qur’annya. Kami pun harus
menggunakan metode lain untuk masalah menghafal Al-Qur’an ini, seperti
menghafal bersama saat di kendaraan, atau memutar video atau televisi
Islam yang menayangkan anak-anak sedang tilawah Al-Qur’an.
Itulah di antara waktu-waktu berharga yang mampu kami berikan untukmu
wahai buah hati kami. Kami tak mau menyia-nyikan kehadiranmu. Ayah dan
Ambu (Ambu adalah panggilannya untuk ibunya) sudah cukup lama menantikan
kehadiranmu. Empat tahun kami menunggu bukanlah waktu yang sebentar.
Dan saat ini usiamu sudah masuk 5 tahun, nak. Moga engkau bisa sesuai
namamu yang kami berikan atas saran seorang ustadz di Bandung. Namamu
ialah BILLAHI TAHYA HANIIAH yang secara harfiah berarti ‘Bersama Allah
engkau akan hidup berbahagia’. Dengan nama itu, ayah dan Ambu
benar-benar menginginkanmu agar kami selalu berada di jalan-Nya. Karena
hanya itulah sumber kebahagiaan sejati itu.
Ayah dan Ambu pun sangat yakin kebenaran tulisan Kak Bimo – salah
satu pendongeng di televisi itu lho, nak – yang mengutip penelitian Dr.
David McClelland, bahwa ada kaitan antara mendongeng dan kemajuan
bangsa. David McClelland membandingkan bangsa Inggris dan Spanyol, yang
pada abad ke-16 merupakan dua negara raksasa yang kaya raya. Sejak itu
Inggris terus berkembang menjadi negara kuat, sedangkan Spanyol menurun
menjadi negara yang lemah. Mengapa demikian, nak?
Ternyata, setelah semua aspek diperiksa, McClelland tiba pada satu
jawaban: cerita dongeng anak-anak di kedua negara itu. Menurut
McClelland, dongeng di Inggris pada abad ke-16 itu mengandung ‘virus’
yang menjangkiti pendengar dan pembacanya akan ‘penyakit butuh
berprestasi’. Sementara dongeng dan cerita anak-anak di Spanyol justru
meninabobokan, tidak mengandung virus tersebut.
Begitulah, nak, visi peradaban itulah yang menjadikan ayah dan ambu
tak mau meninggalkan metode pengajaran yang satu ini, mendongeng. Ayah
dan Ambu ingin tradisi yang satu ini pun akan kamu turut saat kelak kamu
berkeluarga dan memiliki putra-putri. Hal itu perlu ayah dan ambu
tekankan bagimu, mengingat bahwa bercerita merupakan metode pembelajaran
universal yang berpengaruh bagi jiwa manusia. Bukankah Al-Qur’an juga
banyak berisi cerita-cerita. Allah hendak mendidik jiwa manusia menuju
keimanan dan kebersihan ruhani dengan mengajak manusia berfikir,
merenungi dan meresapi pesan-pesan moral dalam kisah yang disampaikan
dalam kitab-Nya itu.
Jayapura, November 2015
Nardi
0 Response to "Dua Tangan Kosong pun Bisa Menjadi Media untuk Mendongeng"
Post a Comment