Emakku
kini engkau tak muda lagi. Kerutan kulitmu mulai terlihat dengan jelas.
Uban menghiasi di sana sini dari rambutmu. Tubuhmu kini pun sedikit
ringkih karena seringnya penyakit menghampiri. Bahkan, saat ini hampir
tak ada lagi gigimu yang asli, gigi pasanganmu itu pun pernah hancur
karena kecelakaan saat berkendara, alhamdulillah kini sudah dipasang
yang baru lagi. Namun, di usiamu yang
hampir kepala lima itu, engkau masih saja bekerja keras membanting
tulang, memeras keringat. Meski anakmu ini sudah berkali-kali memintamu
untuk ‘pensiun’ dan ikut denganku di Jayapura. Engkau tak perlu lagi
bekerja, jika engkau mau menjaga cucumu itu pun sudah lebih dari cukup.
“Emak malu, emak masih bisa bekerja,” itu kalimatmu menolak
permintaanku.
Aku pun sudah lama membujuknya agar adik bungsuku, satu-satunya
adikku yang masih bersekolah untuk pindah sekolah ke Jayapura. Semua
biaya sekolah dan biaya hidupnya biar menjadi tanggunganku.
Alhamdulillah, emak mengizinkan adikku pindah ke Jayapura saat ia lulus
SMP, dan melanjutkan SMA di Jayapura. Bahkan, saat itu emak pun ikut ke
Jayapura menemani si bungsu agar kerasan di sini. Namun, setelah empat
bulan berjalan tiba-tiba emak meminta pulang ke Sorong. Ingin bekerja,
ingin menabung untuk kebutuhan kuliah adik bungsuku kelak, katamu. Kalau
emak sudah bertekad bulat, tak ada lagi bujuk rayu yang mempan.
“Baiklah mak, nanti kalau kangen sampaikan ya, biar kukirim biaya
transportasinya,” kataku menyerah pada kemauannya.
Sosoknya yang pekerja keras dan tak mau diam kembali terlihat saat
emakku sampai di Sorong. Begitu mendengar ada perusahaan pemborong
dermaga baru Kota Sorong yang membutuhkan tenaga, emakku pun langsung
melamar. Emakku bersama sejumlah pekerja perempuan lainnya ditempatkan
di bagian dapur bertugas menyiapkan makan bagi hampir ratusan pekerja di
sana. Gajimu saat itu tidaklah besar, namun betapa engkau bersyukur
karena setiap akhir bulan uang gaji itu bisa engkau sisihkan dan
ditabung.
Setelah dermaga itu selesai engkau memilih untuk bekerja di rumah,
berjualan nasi kuning dan bensin eceran. Sementara setiap sabtu dan ahad
jadwal keliling dari rumah ke rumah mengkreditkan pakaian. Untuk
pekerjaan yang terakhir ini sebenarnya sudah lama dijalani emakku,
seingatku sudah sejak aku masih bersekolah di bangku SD. Ia mengambil
pakaian dari sejumlah bos kenalannya dengan harga miring di kota dan
menjual kembali secara kredit di desa kami dengan harga lebih tinggi.
Ada hal yang menarik, bahwa bos-bosnya di kota sudah sangat percaya
emakku. Emakku bisa membawa berapa pun jumlah baju yang dikehendaki
tanpa harus membayar terlebih dahulu. Setelah dua pekan atau bahkan
sebulan kemudian emakku baru membayarnya.
Dahulu emak bisa hampir setiap hari berkeliling dari desa yang satu
ke desa yang lain, seakan sudah dijadwalkan harinya, untuk menjual
pakaian. Namun, saat ini emak hanya berkeliling di desa kami saja, dan
itu pun hanya di hari sabtu dan ahad. Sudah banyak pedagang yang sama,
yang menjadi alasan emakku.
Emak, usiamu sudah tak muda lagi. Kerut kulitmu semakin nampak, putih
ubanmu juga semakin banyak. Tapi.. Tapi semua itu tak lantas
menjadikanmu mau menuruti kata-kata anakmu, istirahat dan menikmati masa
tua dengan lebih santai.
Sosoknya yang pekerja keras, bertanggung jawab kepada keluarga, ingin
memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya, sudah aku lihat sejak aku mulai
bisa mengingat peristiwa dalam memori yang lama yaitu di saat usiaku
sekitar 3 tahunan. Saat itu sawah keluarga kami gagal panen, emak pun
berpikir keras mencari solusi. Dengan sisa-sisa minimnya uang yang
dimiliki, ia ingin agar dapur kami tetap bisa ngebul. Saat itu bukan
berarti ayahku berpangku tangan, ayahku pun mencari solusi dengan
menjadi buruh proyek jalan dan irigasi. Namun, bos ayahku menghilang
dengan membawa lari semua gaji para pekerjanya. Walhasil, kerja ayah
sebulan lebih itu tak menyambung nyawa dapur kami. Padahal emakku setiap
hari harus membekali ayahku dengan masakannya meski sederhana adanya.
Keluarga kami saat itu sampai tak mampu lagi membeli beras, dan
beralih makanan pokok kami ke sagu dan gaplek dari singkong. Ayah yang
bertanggung jawab menohok sagu di hutan dan mencabut singkong di kebun
kami.
Saat itu, emak mengambil keputusan menjadi pedagang kue keliling di
desa sebelah yang baru saja dibuka transmigrasi baru. Jarak dua kali 20
km pun setiap hari ditempuhnya pergi pulang dengan berjalan kaki karena
saat itu kami tak memiliki kendaraan meski hanya sebuah sepeda. Bangun
pukul 3 dini hari bergelut di dapur meracik kue bahan jualan, dan harus
sudah berangkat ba’da shalat subuh setiap hari di jalaninya.
Saat keluarga kami mampu mengumpulkan sedikit modal, emak dan ayah
memberanikan diri menjadi pengumpul telur ayam kampung dan telur bebek
dan menjualnya ke pasar Sentral di kota Sorong. Tak menggunakan rak
telur, karena tak cukup modal untuk membelinya, telur-telur itu pun
diletakkan di kotak kayu besar. Agar tak pecah karena saling berbenturan
di antara telur itu disusun daun pisang kering. Saat itu kami sudah
mempunyai sebuah sepeda, berdua ayah dan emak mendorong sepeda menuju
kota berjarak 40 km. Dari situlah emak mulai memiliki sejumlah kenalan,
dan dipercaya untuk membawa pakaian dari tokonya di kota untuk dijual
keliling dari satu desa ke desa lainnya.
Itulah salah satu episode yang menunjukkan betapa emakku adalah
pekerja keras ingin memperbaki ekonomi keluarga kami. Selain pekerja
keras, bagiku emakku adalah guru pertamaku, dialah yang mengajariku
membaca, mengaji, menggambar maupun bercerita sebelum aku mendapatkannya
dari bangku sekolah. Emakku juga adalah sosok penyayang keluarga dan
anak-anaknya. Untuk hal yang terakhir ini, banyak peristiwa yang
menggambarkannya. Namun, kesempatan ini tak cukup untuk menyampaikannya,
Insya Allah di suatu kesempatan aku akan menuliskannya. Emakku juga
adalah sahabatku, ia tak canggung untuk curhat tentang berbagai
masalahnya denganku karena sudah sangat percayanya ia padaku. Ahh,
episode-episode ini pasti akan lebih indah diceritakan, semoga di suatu
saat nanti.
Emak, maafkan aku masih belum bisa membahagiakanmu. Aku sebenarnya
tak tega membiarkanmu terus bekerja sekaras itu. Namun, aku pun tak
mampu menghentikan kemauanmu yang membaja. Maafkan aku yang hanya bisa
mengirim sejumlah rupiah yang tidak besar angkanya setiap bulannya.
Kerja kerasmu begitu membekas bagiku, terutama saat di masa kuliah
strata satuku di Jayapura. Biasa sebagai anak kos tentu menunggu-nunggu
kiriman dari emaknya. Setahuku engkau tak pernah telat mengirimi
kebutuhanku. Dan, aku tahu untuk itu engkau yang saat itu tinggal di
kota, harus setiap akhir pekan pulang ke kampung membawa pakaian dijual
keliling. Saat pulangnya, keranjang karungmu di bagian belakang motor
pun penuh dengan berbagai hasil pertanian. Engkau menyetir sendiri jarak
hampir 40 km itu untuk menjual sayur mayur itu ke kota. Terima kasih
mak, atas semua perjuanganmu. Meski di pertengahan kuliahku, aku sudah
memiliki penghasilan dari mengajar privat dan mengajar di bimbingan
belajar dan aku pun mendapatkan beasiswa dari kampus, dan aku memintamu
tak lagi mengirimiku namun engkau menolak. “Adik-adikmu semua mendapat
baiaya bulanan dari emak, kamu pun harus tetap mendapatkan jatah,”
katamu ketika itu. Akhirnya, hingga aku menyelesaikan kuliahku, emak
terus mengirimiku biaya bulanan.
Emak, engkau adalah ibu terbaik bagi anakmu ini. Dengan kerja kerasmu
itu, kini anakmu sudah menjadi orang. Meski saat aku akan berangkat
kuliah dulu, banyak tetangga yang meragukanmu akan mampu membiayai
kuliahku hingga selesai. Namun, kerja kerasmu membuktikan, kini bukan
hanya sarjana anakmu ini bahkan sudah menyelesaikan jenjang pasca
sarjana dari sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Makasih
emakku yang hebat. Kerja kerasmu telah menghantarkanku menjadi seperti
sekarang ini. Doakan aku tetap bisa berbakti, berdoa dan berbagi
denganmu.
Terima kasih untuk semuanya, mak. Terima kasih untuk kasih sayangmu,
terima kasih untuk cintamu, terima kasih untuk persahabatan darimu. Tak
mungkin aku bisa membalas untuk semua kebaikanmu. Hanya doa yang mampu
kulantunkan untukmu, semoga Allah anugerahkan semua kebaikan padamu,
diberkahi kehidupanmu, dan dipanjangkan usiamu dalam keridhoanNya.
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Jayapura, 19 Desember 2015
Peluk cium dari anakmu
Sunardi
Peluk cium dari anakmu
Sunardi
0 Response to "Emakku, Sosok Pekerja Keras"
Post a Comment