![]() |
Foto: Koleksi Tropen Museum Belanda/Hidayatullah |
Ternyata Kamu Muslim, Ya?
Pertanyaan Paling Menyakitkan Bagi Muslim
Papua
Oleh: Masdi Abu
Hani
Aku seperti tercenung kembali
akan obrolanku bersama guru SMA-ku dahulu. Ia adalah guru mata pelajaran agama
Islam. Meskipun ia hanya mengajar kami pada semester akhir saat aku sudah duduk
di kelas 3 SMA, keshalihan dan kepribadiannya menjadikanku tertarik untuk berusaha
mengenalnya lebih dekat. Hingga saat aku telah kuliah ke luar kota, saat-saat
pulang kampung aku sempatkan untuk bersilaturahim ke rumahnya.
Ia menamatkan pendidikannya di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Di saat kuliah itulah, ia sudah mulai
diminta memberikan ceramah di sejumlah pengajian. Namun, sesaat setelah ia turun
dari mimbar, seorang jamaah mendekatinya.
"Ternyata kamu muslim,
ya?" tanya jamaah itu.
Jamaah itu bertanya demikian
demi melihat guru kami ini yang berkulit hitam dan berambut keriting. Jamaah
itu bertanya demikian demi menyaksikan orang baru saja turun dari mimbar itu
adalah seorang asli Papua. Ia bertanya demikian karena tak mampu membendung
rasa herannya, mengapa ada orang yang memiliki ciri-ciri seperti di lagu Edo
Kondologit itu ternyata seorang muslim. Mungkin, bagi jamaah ini adalah aneh
seorang asli Papua beragama Islam.
“Benar, bu!” demikian singkat
guru kami dengan wajah kecut.
Sebenarnya dalam hati guru
kami ingin balik bertanya, "Memang tidak boleh orang dengan kulit hitam dan
rambut keriting seperti saya ini menjadi muslim?" Namun, hal itu tak
dilakukannya.
Ternyata kamu muslim, ya? Sebuah
pertanyaan yang sangat menyakitkan bagi guru kami. Sebuah pertanyaan yang seolah meragukan
ke-Islaman dirinya. Untungnya, ia bisa memaklumi bahwa pertanyaan itu muncul karena
salah persepsi mereka selama ini.
Masyarakat terlanjur terbentuk
oleh sebuah opini bahwa Papua identik dengan Kristen. Mereka beranggapan bahwa
orang Papua sudah pasti Kristen. Maka ketika melihat orang Papua beragama
Islam, muncul rasa tidak percaya dan bahkan rasa heran. Pertanyaan sekaligus
pernyataan keheranan itu muncul sebagai ekspresi dari persepsi mereka yang salah
selama ini.
Tidak tahukah mereka bahwa
guru kami itu telah muslim sejak ia dilahirkan. Tidak tahukah mereka bahwa Islam
telah masuk di kampung guru kami ini di Arar Sorong sejak masa Kesultanan
Ternate pada abad ke-15 masehi. Sehingga, Islam telah menjadi agama turun
temurun di sana. Tidak tahukah mereka bahwa tak ada bedanya ekspresi ke-Islaman
di kampung-kampung muslim di Jawa, sebagai suatu misal, dengan di Kampung Arar
Sorong tempat guru kami lahir dan dibesarkan. Mereka shalat lima waktu di
masjid dan mushala-mushala. Anak-anak dan remaja belajar mengaji Al-Qur’an
setiap sore hari. Ibu-ibunya memiliki mejelis taklim pekanan. Bahkan, di sana
ada pembacaan Al-Barzanji yang diiringi dengan alat musik rebana.
Tak ada bedanya tradisi Islam
di kampung ini dengan kampung-kampung muslim Indonesia lainnya. Bahkan, karena
kentalnya tradisi Islam di kampung yang tepatnya terletak di pulau bernama sama
dengan nama kampungnya itu, lebih dari 90 persen penduduknya beragama Islam. Sisanya,
tidak sampai 10 persen beragama Kristen adalah para pendatang baru di kampung
itu. Jika demikian adanya, masih pantaskah kita bertanya, “Ternyata kamu
muslim, ya?”
Masyarakat Arar Sorong tempat
guru kami lahir dan dibesarkan, punya caranya sendiri agar warganya yang asli
Papua itu bisa menunaikan rukun Islam kelima. Setiap musim haji tiba, warga
akan patungan mengumpulkan biaya perjalanan haji. Mereka setiap tahunnya telah
memilih sepasang suami istri untuk diberangkatkan berdasarkan urutan usia di
kampung itu. Dari mulai biaya tiket, penginapan, hinggga tetek-bengek kebutuhan
selama di tanah suci semua sudah disediakan warga. Suami istri itu tinggal
mempersiapkan diri untuk beribadah. Tradisi yang sudah turun temurun dari nenek
moyang mereka itu belum tentu ada di daerah lain negeri ini yang mengaku paling
Islam sekali pun. Lalu, masih layakkah kita bertanya, “Ternyata kamu muslim,
ya?
Sejarah menyebutkan bahwa
Islam telah masuk ke kampung Arar Sorong ini pada sekitar abad ke-15, sesuai
dengan catatan Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam. Arnold
menyebutkan bahwa sebelum sampai ke semenanjung Onim (Fakfak) pada tahun 1606,
Islam telah sampai ke wilayah Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati. Salawati
adalah daerah yang melingkupi Kampung Arar, kampung guru agama kami ini.
Masuknya Islam di Kampung Arar
ini pada Abad ke-15 dikuatkan oleh sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore
”Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige”. Catatan itu menuliskan
bahwa pada tahun 1453 Sultan Tidore yang ke-10 Ibnu Mansur bersama Sangaji
Patani Sahmardan dan Kapitan Waigeo bernama Kapitan Gurabesi memimpin ekspedisi
ke daratan Tanah Besar (Papua). Ekspedisi ini berhasil meng-Islamkan penduduk
di Wilayah Raja Ampat atau Korano
Ngaruha (Waigeo, Salawati, Lilinta, dan Waigama), wilayah Papo Ua Gamsio (Papo
Ua Sembilan Negeri), wilayah Mafor Soa Raha (Mafor Ampat Soa) meliputi
Rumberpon, Rumansar, Angradifa, dan Waropen.
Dari daerah-daerah ini
kemudian Islam menyebar ke seluruh wilayah daratan Tanah Besar (Papua). Hingga
kini tercatat, jumlah muslim di Kabupaten Fakfak mencapai 58,31 persen, Kristen
Protestan 20,27 persen, Katholik 21,12 persen. Di Kabupaten Kaimana, Islam
mencapai 44,81 persen, Kristen Protestan 45,20 persen, dan Katholik 9,88
persen. Kabupaten Teluk Bintuni , Islam mencapai 49,10 persen, Kristen
Protestan 28,69 persen, dan Katholik 22,15 persen. Kabupaten Sorong yang
meliputi salah satunya adalah Kampung Arar tersebut, Islam mencapai 44,82
persen, Kristen Protestan 44,95 persen, dan Katholik 9,69 persen (Papua Barat
Dalam Angka 2015). Di daerah-daerah ini selain pendatang yang memeluk Islam,
justru mayoritas komposisi muslim berasal dari masyarakat asli Papua yang telah
sejak nenek moyang mereka telah memeluk agama Islam seperti guru saya ini.
Lantas masihkan kita hendak bertanya, “Ternyata kamu muslim, ya?”
Akankah pertanyaan yang
ternyata menyakiti hati saudara muslim kita dari Papua itu terus kita ungkapkan
atas nama ketidaktahuan. Akankah kita tega terus menisbikan mereka yang telah
berabad-abad lamanya berjuang bersama agama yang hanif ini atas nama salah
persepsi. Semoga kita bisa belajar dari kesalahan selama ini.
Akhirnya, salam hormat dengan
penuh rasa bangga pada guru agama kami itu, Bapak Ahad Sakka, S.Ag. Semoga
Allah anugerahi hidup yang berkah kepada beliau untuk bisa terus berdakwah di
bumi Cenderawasih ini. Saat tulisan ini dibuat, tersiar kabar beliau sedang
digadang-gadang untuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Sorong, menggantikan Ketua MUI Bapak H. Ahmad Anderson Meage, S.Pdi, MPd yang juga seorang Papua asli yang meninggal dunia
sesaat setelah menyampaikan ceramah di Masjid Kelurahan Klafdalim. Allahummaghfirlahu
warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. Semoga Allah tempatkan almarhum Bapak Meage di
surga-Nya. Aamiin.
Jayapura, 2 Juni
2016 jam 13:30 WIT
0 Response to "Ternyata Kamu Muslim, Ya? Pertanyaan Paling Menyakitkan Bagi Muslim Papua"
Post a Comment