Hidayah Itu Menyapa Hingga Pedalaman Wamena

Hidayah Itu Menyapa Hingga Pedalaman Wamena

Oleh: Sunardi

Mungkin tak ada yang membayangkan bahwa di Jayawijaya yang terletak di pedalaman atau lebih tepatnya di pegunungan tengah Papua, pemeluk Islam mencapai 11.871 jiwa. Di kabupaten yang beribukotakan Wamena itu, saat ini ada 18 buah masjid, dan bahkan ada sebuah pesantren yang didirikan di atas tanah seluas 3 hektar. Pesantren itu pun bukan baru saja berdiri, namun sudah ada sejak tahun 1982. Bahkan, saat ini tercatat 12 kampung dengan penduduk asli Wamena yang mayoritas memeluk Islam sebagai keyakinannya. Letaknya yang di tengah-tengah pulau Papua dan hanya bisa dijangkau dengan menggunakan transportasi udara dari Jayapura, tak menghalangi masyarakatnya untuk menerima pancaran cahaya Islam.

Islam yang berkembang di Wamena adalah hasil kerja keras masyarakat asli Wamena sendiri dalam mengejar hidayah. Semua bermula dari kebeningan hati dan kejernihan jiwa masyarakat Wamena ketika besinggungan dengan agama yang berisikan kepasrahan total kepada Penciptanya ini. Mereka pun membuka hati dan jiwa akan ajaran yang mereka yakini benar adanya.

Di depan Masjid Raya Wamena Baiturrahman
Siapa yang menyangka bahwa semua itu bermula dari kehidupan nan berkah tiga lelaki bersaudara yang saat itu bahkan masih mengenakan koteka. Adalah Merasugun Asso dan kedua keponakannya yakni Firdaus Asso dan Muhammad Ali Asso yang membawa kayu bakar dari kampungnya di Walesi untuk ditukarkan dengan bahan kebutuhan pokok di Kota Wamena. Setelah menempuh jalan setapak sekitar 6 km dari kampungnya, kayu bakar itu pun menemui tuannya, seorang pedagang berasal dari Madura. Sebagai gantinya, ketiganya bisa membawa pulang kebutuhan pokok keseharian. Demikianlah yang menjadi rutinitas tiga orang bersaudara ini setiap pekannya.

Dari kegiatan ekonomi inilah ketiganya pun mengenal bahwa sang pedagang adalah seorang yang memiliki perangai yang baik dan juga seorang yang taat beribadah sesuai agamanya, yakni Islam. Ketiganya pun tertarik kepada ajaran agama sang pedagang. Tanpa menunggu waktu, Merasugun dan kedua saudaranya meminta untuk dimasukkan ke dalam Islam. Namun, keraguan justru mendera sang pedagang yang hingga saat ini tidak diketahui namanya ini. Pasalnya, ia khawatir akan tuduhan melakukan Islamisasi. Ketiganya meyakinkan bahwa mereka belum memeluk agama apa pun saat itu. Akhirnya ketiganya pun bersyahadat di Masjid Baiturrahman Wamena disaksikan para jamaah selepas shalat Jumat di tahun 1975.

Bersama Ust Muhammad, pemuka agama dari Kampung Tulima (tengah). Di Kampung Tulima terdapat 27 KK atau 72 jiwa yang semuanya beragama Islam.
Merasugun dan kedua saudaranya inilah yang kemudian mengorganisir penyebaran Islam ke masyarakat Walesi dan sekitarnya, dan berhasil mendapatkan dukungan luas. Dari sini, Kepala Suku Besar, Aipon Asso dan Tahuluk Asso bersyahadat di tahun 1977.

Pada tahun 1982, dua tahun sepeninggal Merasugun , sebuah pondok pesantren didirikan atas swadaya masyarakat sendiri. Pondok itu pun diberi nama Pondok Pesantren Merasugun Asso Al-Istiqomah Walesi, sebagai bentuk penghormatan masyarakat setempat akan jasa besar Merasugun yang telah membuka jalan hidayah di sana. Di lokasi pondok pesantren itu berdiri sebuah masjid bernama Masjid Al-Qashoh, dan dua madrasah, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Merasugun Asso Walesi.

Hasil kerja keras generasi awal Islam itu, kini Islam menjadi agama yang terus berkembang di daerah yang dikenal pula dengan lembah Baliem ini. Bahkan, saat ini, ada 12 kampung yang penduduknya beragama Islam, yaitu Hitigima, Air  Garam, Okilik, Apenas, Ibele, Araboda, Jagara, Megapura, Pasema, Mapenduma, Kurulu dan Pugima.

Sebenarnya, Islam telah masuk ke Wamena pada sekitar akhir tahun 1960-an, pasca integrasi Papua ke NKRI. Namun Islam baru berkembang pesat setelah masuk Islamnya Merasugun dari Walesi pada 1975 di atas. Masuknya Islam ke Wamena tidak dikelola oleh lembaga dakwah Islam, melainkan terjadi secara alamiah melalui interaksi para pedagang, pegawai, guru-guru dan transmigran. Pedagang umumnya datang dari Bugis, Makassar, Jawa dan Madura. Perkenalan pertama dengan guru-guru muslim terutama saat SD Inpres Megapura didirikan. Sedangkan, persinggungan dengan transmigran dimulai saat dibukanya program transmigrasi di daerah Sinata/Megapura pada akhir 1970-an, namun beberapa tahun kemudian mereka dipindahkan ke Paniai (saat ini masuk ke wilayah Nabire).

Masyarakat masih memiliki data penduduk Wamena yang paling awal memeluk agama Islam, yaitu Esogalib Lokowal. Sejumlah nama pun menyusul, seperti Harun Asso (Hitigima/Wesapot), Yasa Asso (Hepuba/Wiaima), Horopalek Lokowal, Musa Asso (Megapura/Sinata), Donatus Lani (Lanitapo).

Bersama Ust. Adnan Yelipele, MA, imam besar masjid Raya Baiturrahim Jayapura, yang saat ini baru saja dilantik menjadi Kepala KUA Distrik Wamena
Kini, muslim pegunungan tengah bukan lagi menjadi objek dakwah, justru sebagian mereka telah menjadi pelaku dan penggerak dakwah itu sendiri. Bukan hanya di pegunungan tengah Papua, namun sudah berkiprah hingga ke tingkat provinsi. Sebut saja sejumlah nama, seperti Ust. Saiful Islam Al-Payage yang saat ini memimpin MUI Papua, dan Ust. Adnan Yelipele yang menjadi imam besar di Masjid Raya Jayapura. Saat tulisan ini dibuat, Ust. Adnan Yelipele baru saja dilantik menjadi kepala KUA di Distrik Wamena, Jayawijaya, kampung halamannya. Tidak sedikit dari muslim pegunungan tengah Papua itu pun berkiprah di pemerintahan, kepolisian, dan TNI.

Seiring dengan pertumbuhan muslimin, sejumlah organisasi Islam pun turut menyemarakkan dakwah di Jayawijaya khususnya dan pegunungan tengah Papua pada umumnya. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS), Muhammadiyah, Hidayatullah, NU dan Bulan Sabit Merah Jayawijaya.

Mungkin tak ada yang membayangkan bahwa di Jayawijaya yang terletak di pedalaman Papua, pemeluk Islam mencapai 11.871 jiwa, ada 18 buah masjid berdiri, 12 kampungnya merupakan kampung muslim, dan ada sebuah pesantren yang dibangun di atas lahan seluas 3 hektar. Demikianlah, jika Allah telah berkehendak, tak ada makhluk yang bisa menolak. Jika Allah berkehendak, tak seorang pun bisa mengelak. Jika Allah telah bertitah, mudah bagi suatu masyarakat meraih hidayah. Dan, hidayah itu pun menyapa hingga pedalaman Wamena.

Kita doakan Islam bisa terus memberi kemanfaatan dan kontribusi terbaik bagi kemajuan masyarakat di Lembah Baliem, Wamena. Aamiin.

Jayapura, 1 Maret 2017

0 Response to "Hidayah Itu Menyapa Hingga Pedalaman Wamena"

Post a Comment