Wamena, Kota Eksotik sebagai Pelabuhan Terakhir Agama-Agama

Wamena, Kota Eksotik sebagai Pelabuhan Terakhir Agama-Agama

Oleh: Sunardi

Belum ke Papua, jika belum menginjakkan kaki di Wamena. Ideom yang berkembang di tengah masyarakat Papua itu tampak benar adanya, terutama jika ditilik dari sisi tradisi dan budaya yang ada di Wamena yang bahkan telah menjadi ikonik di Papua. Koteka, penutup kemaluan pria khas Papua, masih banyak dipakai di ibukota Jayawijaya ini. Honai yang merupakan rumah tradisional Papua mudah kita jumpai di sana sini. Upacara bakar batu yang merupakan tradisi memasak daging, sayur dan umbi-umbian dengan menggunakan batu panas dalam satu lubang besar, mungkin tak ada duanya di muka bumi ini selain di wilayah yang dikenal juga dengan Lembah Baliem ini. Potong ruas jari sebagai tanda duka atas meninggalnya anggota keluarga, tarian perang yang mengenakan tombak dan panah, noken sebagai alat untuk mengangkat hasil kebun dan juga menggendong bayi dan babi, semua ada di sini. Wamena adalah penjaga warisan adat yang luar biasa.

Keunikan tradisi yang dimiliki ditingkapi kehijauan dataran dan keindahan alamnya menjadikan semua mata tertuju padanya. Meski berada di daerah terisolir di pegunungan tengah Papua, Wamena tetap menarik hati untuk dijumpai dan dieksplorasi. Dari mulai eksplorasi di bawah pimpinan Richard Archbold (23 Juni 1938 hingga awal 1939), eksplorasi oleh Angkatan Udara Amerika Serikat pada (Mei 1945) hingga dimulainya pendudukan oleh pemerintahan Belanda pada 10 Desember 1945.

Seiring dengan semangat mengeksplorasi keindahan alam, keunikkan  tradisi dan bahkan semangat pendudukan ini, Wamena pun mulai menjadi daerah yang menarik bagi penyebaran keyakinan dan agama-agama. Bermula pada 20 April 1954, dua tahun sebelum Belanda mendirikan pos pertama kalinya, para misionaris CAMA (Christian And Missionary Alliance) dari Amerika Serikat di bawah pimpinan Pendeta Lioyd Van Stone dan Einer Michelson mendarat di wilayah ini dengan menggunakan pesawat kecil. Semangat yang mereka bawa adalah mengonversi keyakinan penduduk Lembah Baliem dari keyakinan lamanya yang cenderung dinamisme animisme menjadi pengikut ajaran Injil Kristiani. Sebagai penghargaan terhadap upaya para misionaris itu, tanggal tersebut selanjutnya diperingati setiap tahunnya sebagai hari masuknya Injil (Pekabaran Injil) di Lembah Baliem.

Seolah tak mau ketinggalan, misi Katholik pun mulai bergerak. Tercatat pada 19  Januari 1958 sebuah pesawat Cesna membawa P. Blookdijk, OFM (Ordo Fratrum Minorum, salah satu ordo dalam ajaran Katholik) mendarat di lapangan terbang yang dibangun pemerintah Belanda. Awalnya, Pastoran dibangun di Wesaima dan mulai merekrut anak-anak untuk dididik ajaran Katholik, misi Katholik pun terus melebarkan sayap dan menjangkau wilayah Hubikiak dan Walesi. Dari sini jumlah masyarakat yang bisa direkrut terus bertambah. Hingga pada tahun 1960-an gereja Katholik dibangun di Patikuluba dekat Kali Uwe yang saat ini dikenal sebagai kompleks misi Katholik Wamena.

Sementara itu, Islam masuk ke Wamena pada sekitar akhir tahun 1960-an pasca integrasi dengan NKRI. Masuknya Islam ke Wamena tidak dikelola oleh lembaga dakwah Islam, melainkan terjadi secara alamiah melalui interaksi para pedagang, pegawai, guru-guru dan transmigran. Pedagang umumnya datang dari Bugis dan Makassar. Perkenalan pertama dengan guru-guru muslim terutama saat SD Inpres Megapura didirikan. Sedangkan, persinggungan dengan transmigran dimulai saat dibukanya program transmigrasi di daerah Sinata/Megapura pada akhir 1970-an, namun beberapa tahun kemudian mereka dipindahkan ke Paniai (saat ini masuk ke wilayah Nabire). Namun, Islam baru mengalami perkembangan yang pesat setalh masuk Islamnya Merasugun Asso dari Distrik Walesi pada tahun 1975.

Demikianlah, agama-agama besar itu pun akhirnya bisa menyapa masyarakat Wamena. Masuknya agama-agama ke Wamena termasuk berada pada fase akhir dari penyebaran agama-agama di dunia, termasuk terakhir pula di Papua.  Untuk di pulau Papua, agama-agama telah masuk sejak abad ke-15. Islam menjadi agama yang paling pertama masuk ke Papua yaitu pada abad ke-15 tersebut, disusul oleh Kristen pada 5 Februari 1855 dan selanjutnya Katholik pada 1894.

Sebagaimana catatan Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam bahwa pada abad ke-15, Islam telah masuk ke wilayah barat Papua, seperti Waigeo, Misool, Waigama, Salawati dan semenanjung Onim (Fakfak).  Sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore ”Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige” menuliskan bahwa pada tahun 1453 Sultan Tidore yang ke-10 Ibnu Mansur bersama Sangaji Patani Sahmardan dan Kapitan Waigeo bernama Kapitan Gurabesi memimpin ekspedisi ke daratan Tanah Besar (Papua). Ekspedisi ini berhasil meng-Islamkan penduduk di  Wilayah Raja Ampat atau Korano Ngaruha (Waigeo, Salawati, Lilinta, dan Waigama), wilayah Papo Ua Gamsio (Papo Ua Sembilan Negeri), wilayah Mafor Soa Raha (Mafor Ampat Soa) meliputi Rumberpon, Rumansar, Angradifa, dan Waropen.

Islam juga tercatat sebagai agama yang yang pertama kali masuk di ibukota Papua, Jayapura, yakni pada tahun 1867. Tahun tersebut, Kesultanan Tidore secara khusus mengutus Habib Muhammad Asghar atau Habib Muhammad Kecil untuk menyebarkan Islam di Jayapura. Habib Muhammad Asghar sebenarnya adalah ulama berasal dari Bagdad yang diutus oleh kesultanan Turki yang diminta kesediaaannya untuk menyiarkan ajaran Islam di Jayapura oleh kesultanan Tidore. Habib Muhammad Kecil membangun madrasah dan mushollah pertama di kota Jayapura dengan murid-murid berasal dari Jayapura, Sarmi dan bahkan dari Serui.

Demikian pula dengan agama Kristen yang telah masuk ke Papua jauh sebelum sampai ke Wamena. Masuknya Kristen di Papua ditandai dengan kedatangan Carll Wilem Ottow dan Johan Gottlob Geissler ke Mansinam, Manokwari pada 5 Februari 1855. Kedatangan keduanya adalah dalam misi merintis peng-Injilan pertama di Papua. Sebagai penghargaan atas jasa keduanya, selanjutnya tanggal tersebut diperingati setiap tahunnya sebagai hari Pengabaran Injil di Tanah Papua.  Meski demikian, misi Kristen saat itu masih bersifat sporadis, dan baru dilakukan secara terstruktur dan berkesinambungan pada awal abad ke-20. Pada awal abad ke-20 inilah, Kristen mulai bergerak dari Mansinam dan Manokwari ke penjuru Papua, terutama ke pesisir utara dan barat Papua. Tercatat bahwa Kristen mulai masuk ke Pulau Yapen dan pulau-pulau di Teluk Cenderawasih pada tahun 1908, masuk ke Metu Debi di Teluk Yotefa Jayapura pada 1910, ke daerah kepala burung bagian barat tahun 1911, Raja Ampat tahun 1913, dan Pulau Wakde yang berhadapan dengan Sarmi tahun 1922.

Pemandangan salah satu mall di Wamena
Selanjutnya, Katholik pun lebih dahulu tersebar di kabupaten-kabupaten lain sebelum masuk ke Wamena. Namun, misionaris Katholik lebih memilih untuk menyebarkan agama mulai dari pesisir selatan Papua. Upaya pertama dilakukan pada 1894, namun hasilnya relatif nihil. Baru pada 1905, misionaris Katholik bisa membuka pusat penyebaran agama di Merauke. Sekitar tahun 1934, Katholik sudah tersebar di wilayah selatan Papua dengan ditandai berdirinya pusat pengajaran Katholik di Agats dan Mimika. Untuk pantai utara Papua, Katholik baru memulai misinya pada sekitar tahun 1936.

Demikianlah, bahwa agama-agama setelah melanglang buana ke sejumlah daerah di Papua akhirnya sampai juga ke Wamena. Meski agama-agama itu masuk ke Wamena di fase-fase akhir, namun bukan berarti semangat beragama masyarakat Wamena menjadi yang paling terbelakang. Hal ini ditunjukkan dengan semangat pembangunan kehidupan beragama yang terus menggeliat di sana. Bahkan, saat ini Wamena menjadi rujukan dan bahkan menjadi ikon kehidupan beragama dari kabupaten-kabupaten lain di pegunungan tengah Papua.

Kehidupan yang harmonis dengan saling menghormati antara pemeluk agama yang satu dengan lainnya terlihat di sini. Setiap umat beragama dapat melaksanakan ibadah menurut keyakinannya, tanpa ada gangguan dari pihak mana pun. Meski sempat mendapat ujian terkait dengan penolakan pengembangan Masjid Baiturrahman pada akhir bulan Februari 2016 lalu, yang sempat membuat berhadap-hadapan antara Persatuan Gereja-Gereja Jayawijaya (PGGJ) dengan Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPTP). Namun dengan turun rembuk berbagai pihak permasalahan itu bisa diselesaikan dengan damai.

Kita doakan semoga kehidupan antar pemeluk agama di kota eksotik yang menyimpan ikonik Papua ini terjalin dengan harmonis dan penuh kedamaian. Semoga.

Jayapura, 1 Maret 2017

0 Response to "Wamena, Kota Eksotik sebagai Pelabuhan Terakhir Agama-Agama"

Post a Comment