Kalian Pergi di Hari yang Sama

Mbok Wek, lek Siadi. Nenek dan pamanku itu pergi di hari yang sama. Seolah telah janjian! Pamanku meninggal selepas waktu Asar di rumah sakit, dan langsung dimakamkan pada ba'da shalat maghrib. Sementara, nenekku menyusul beberapa jam kemudian. Nenek yang mengeluh sakit sesak nafas dan memilih dirawat di rumah saja, ternyata menyusul pamanku saat jamaah baru saja usai membaca doa di rumah pamanku itu. Saat itu, jamaah belum juga bubar dari rumah pamanku. Tiba-tiba tangis histeris datang dari arah rumah Mbok Wekku yang saling berhadapan atau berseberangan dengan rumah pamanku ini. Ternyata, Mbok Wekku yang beberapa waktu sebelumnya masih lantang bercerita tiba-tiba mengalami sakaratul maut dan kemudian menghembuskan nafas terkhir kalinya. Saat kejadian itu, kalender menunjukkan hari Jumat, 22 September 2017.

Mbok Wek demikian aku biasa memanggil nenekku itu. Ia terlahir sebagai anak sulung dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Namun, ketiga saudara perempuannya, yakni Surip, Ponirah dan Maryam, tak ada yang mencapai usia dewasa, semua dipanggil Ilahi saat masih kanak-kanak.

Sebagai seorang gadis kampung, ia pun telah dinikahkan di usia belasan tahun. Orang kampung berfikir bahwa kalau anak gadis tidak segera dinikahkan, dikhawatirkan akan menjadi perawan tua. Dari pernikahan ini Mbok Wekku dikaruniai seorang putra dan 3 orang putri. Hanya saja, anak laki-lakinya tak berusia panjang. Pada usia dua tahun, ia kembali ke haribaan-Nya.

Menurut Emakku, Mbok Wek adalah seorang ibu yang bertanggung jawab, mandiri dan pekerja keras. Mungkin karena tuntutan keadaan, Mbok Wekku akhirnya tampil mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga. Mbok Wek berjuang memenuhi kebutuhan keluarga dengan usaha apa pun yang penting halal. Mbok Wek berjualan sayur keliling dengan menggendongnya di dalam bakul. Sayur-sayur itu, umumnya ia petik sendiri dari pekarangan seperti genjer dan kangkung. Sayur-sayur itu juga diperoleh dari hasil pertanian tetangga, seperti terong dan kacang panjang. Ekonomi keluarga yang sulit menjadikan ia memutar akal, apa yang bisa menghidupi keluarga. Ia melihat di dekat pasar kecamatan ada pengrajin sanggul, maka Mbok Wek pun berinisiatif untuk menawarkan agar para ibu-ibu mau mengumpulkan rambut rontoknya, dan menukarnya dengan sayur mayur. Kepada para tukang cukur kampunh, Mbok Wekku bersedia barter dengan sayuran. Rambut-rambut itu kemudian dibawa ke pengrajin sanggul dan dihargai dengan sejumlah rupiah. Meski demikian ekonomi keluarga Mbok Wek belum kunjung membaik. Ia terus berfikir bagaimana bisa mendapatkan sumber keuangan lainnya, salah satunya ialah ketika pohon kapuk di kampungnya menghasilkan kapas, kapas-kapas itu dipungutnya dan kemudian dijualnya ke ke pembuat kasur di ibukota kecamatan. Usaha apa saja Mbok Wek lakukan, asalkan halal.

Hingga akhirnya Mbok Wek transmigrasi ke provinsi Irian Jaya (saat ini bernama Papua Barat) tepatnya di Kabupaten Sorong pada sekitar Agustus atau September 1982. Di sini, kakekku memiliki cukup lahan, sehingga ia bertani. Sementara Mbok Wekku terus melanjutkan berjualan keliling kampung. Saat di Sorong ini, Mbok Wek tidak hanya berjualan sayur mayur, namun jualan utamanya sudah beralih ke tempe.

Episodeku bersama Mbok Wek

Mbok Wek, sebagian besar perjalanan hidupku kuhabiskan bersamamu. Paling tidak sejak aku duduk di bangku kelas IV SD atau usiaku sekitar 10 tahun, saat perpisahan emak dan bapakku, aku memilih tinggal bersamamu. Saat itu, aku dan adikku diberi pilihan yang sulit, seorang ikut bapak dan seorang lagi ikut emak. Namun kami tak mau dipisahkan. Akhirnya kami tidak memilih kedua-duanya, dan lebih memilih tinggal bersamamu, Mbok Wek. Meski kemudian adikku memilih ikut emak tinggal di kota.

Sejak usiaku sepuluh tahun itu, dari mulai membuka mata di pagi hari hingga menjelang terlelap di malam hari, sosok dan wajahmulah yang selalu kujumpai.

Biasanya engkau telah bangun menjelang subuh, mulai menjerang air untuk menyeduh kopi kesukaanmu dan Pak Wek, kakekku. Bersamaan dengan itu engkau juga mulai menanak nasi. Alhamdulillah, sarapan pagiku selalu siap sebelum aku berangkat ke sekolah. Bahkan saat aku berada di jenjang SMP yang harus shalat subuh dalam keadaan sudah berseragam sekolah dan harus segera berangkat selepas menunaikan shalat, sarapan itu pun sudah siap. Hal ini dikarenakan jarak sekolahku yang relatif jauh. Engkau yang biasa membangunkanku untuk bersiap jauh sebelum subuh tiba.

Selama duduk di bangku SMP ini, aku tak lagi bisa membantu persiapanmu berjualan tempe keliling kampung, sebagaimana saat aku masih berseragam SD ketika itu. Kegiatan ini baru bisa kembali aku lakukan setamat dari SMP, karena SMA-ku tak jauh dari rumah, malah lebih dekat dibanding SD-ku dulu. Persiapan berjualan setiap pagi yaitu dengan menyiapkan sepeda di teras rumah dan kemudian memasangkan keranjang jualan, yang biasa kami sebut sebagai tobos, di boncengan sepeda.

Selanjutnya bahan-bahan jualan ditempatkan satu persatu ke bagian atas dan dalam tobos ini. Beberapa barang jualan ini yaitu tempe yang biasanya terdiri tempe ukuran besar dan kecil yang dibungkus plastik dan tempe yang dibungkus dengan daun. Setelah tempe tersusun rapi, bahan jualan lainnya mengikuti, seperti kecambah dari kedelai maupun dari kacang hijau yang telah dibungkus (bahasa Jawa: dipelang) dengan daun pisang, serta hasil panen sayur mayur kakek atau titipan jualan dari tetangga. Sayur mayur yang biasa ikut dijual seperti kacang panjang, tomat, rica, dan ketimun. Kegiatan menyiapan bahan jualan ini bisanya aku dan kakek bergantian yang melakukannya. Sementara engkau, Mbok terus sibuk di dapur, dari mulai membuat sarapan hingga merebus kedelai untuk bahan tempe selanjutnya. Engkau akan segera berangkat berjualan keliling kampung setelah semua persiapan itu rampung.

Saat-saat yang paling dinanti adalah kepulanganmu dari berjualan keliling ini, karena buah tangan berupa penganan pasar selalu menemanimu. Hal ini terutama ketika aku masih di kelas kecil SD atau saat-saat hari libur. Karena engkau berjualan ini tak lama hanya sekitar 2 hingga 3 jam engkau sudah kembali ke rumah. Banyak orang yang sudah menjadi pelangganmu alias pembeli setia bahan daganganmu. Menurut mereka, tempe jualan nenekku ini rasanya khas, sehingga meskipun di kampungku ada sejumlah penjual tempe lainnya, mereka tak hendak pindah ke lain hati, eh maksudnya ke lain penjual. Mereka akan sangat kecewa saat tidak kebagian tempe kesukaan mereka ini. Sehingga banyak juga pelanggan yang karena takut kehabisan, memilih untuk datang ke rumah sebelum engkau berangkat berjualan keliling.

Siang hari, sepulang sekolah dan setelah makan siang, engkau sudah menyiapkan dua rantang, sebuah ceret air minum dan sebotol kopi yang harus kuantarkan ke kakek di ladang. Aku biasa mengantarkannya ditemani oleh bulekku, anak bungsu nenekku, bik Kesi yang usianya 3 bulan lebih muda daripadaku.

Aku, Mbok Wek dan bulekku juga secara rutin ikut membantu kakek di ladang dari mulai mempersiapkan lahan, saat menanam, menyiangi, hingga memanen hasil pertanian. Berbagai tanaman pernah ditanam oleh kakekku, seperti jagung, kacang tanah, kacang panjang, kacang hijau, sawi, tomat dan rica. Sedikit banyak aku paham bagaimana memperlakukan tanaman itu.

Mbok Wek, saat aku duduk di bangku SMA jualanmu makin bertambah. Kali ini adalah hasil kerajinan tanganku. Di kampungku yang terdapat melimpah bahan-bahan kerajinan seperti bambu dari jenis apus, mendorongku untuk belajar secara otodidak menghasilkan suatu karya anyaman bambu yang banyak diperlukan ibu-ibu di dapur yaitu tompo. Tompo ini berbagai macam ukuran. Aku membuat tompo ini dari ukuran mini hingga ukuran jumbo. Ukuran kecil bisa dimanfaatkan untuk tempat nasi atau wadah untuk mencuci beras atau sayur. Sementara ukuran besar dapat digunakan untuk wadah berbagai hasil pertanian.

Aku membuat untuk berbagai ukuran yang paling banyak dan paling laris adalah ukuran kecil yang biasa digunakan sebagai wadah mencuci beras atau sayur yang akan dimasak. Aku membuatnya dan Mbok Wekku yang menjualnya sembari menjual tempe keliling itu. Dari sini, aku memiliki cukup uang saku untuk ukuran remaja seusiaku karena tompo itu laris manis mengingat semakin langkanya pengrajin. Uang kiriman bulanan dari Emakku biasanya utuh, aku simpan di bawah tumpukan baju di lemari.

Saat-saat aku sakit, aku akan memilih diam di dalam kamar. Engkau yang paling pertama mengetahui keadaanku, karena jika beberapa saat aku tidak terlihat olehmu, engkau akan bertanya-tanya aku sedang di mana.

"Di, iki neng ndi? (Di, kamu di mana?)" tanyamu ke bulekku yang hampir seusia denganku itu.
Dinding kamarku terbuat dari papan kayu, sehingga suara nenekku itu bisa menembus ke dalam kamarku.
"Aku neng kamar, Mbok! (Saya di kamar, Nek!)" kataku menyahut dari dalam kamar.
"Nyapo ket mau koq nggak metu ko kamar? Opo lagi loro? (Kenapa dari tadi koq tidak keluar dari kamar? Apa sedang sakit?)"
"Iyo, Mbok! (Iya, Nek!)" jawabku.

Mbok Wek akan segera masuk ke kamarku. Menempelkan telapak tangannya ke keningku untuk mengetahui suhu tubuhku. Kalau diduga hanya panas biasa, ia akan membelikan paracetamol, bodrex atau puyer bintang toejoe penurun panas. Namun, kalau panas tidak turun-turun, ia yang kemudian membawaku berobat, entah ke pak manteri kesehatan atau ke mbak dukun pijat. Dukun pijat lebih aku takuti daripada dibawa ke pak manteri. Sebab, Mbah Djuri langganan pijat keluargaku itu termasuk yang 'kejam' terhadap si sakit. Bagian yang terasa paling nyeri, di situlah sasaran empuk untuk terus dipijat dengan sekuat tenaga. Biasanya sasarannya ialah di bagian belakang lutut, dan sendi-sendi pergelangan tangan dan kaki.. Kalau si sakit adalah anak kecil sepertiku, ia takkan bisa meronta atau melawan, karena ia akan memerintahkan orang dewasa yang mengantat untuk memegangi sekuat tenaga. Orang dewasa yang mengantarku adalah Mbok Wekku. Mbah Djuri akan terus melanjutkan 'kekejamannya' bahkan sembari terkekeh-kekeh karena asyik dan lucunya obrolan mereka. Sementara aku yang berteriak-teriak menahan sakit, takkan dihiraukannya. Anehnya, selesai dipijit si sakit akan merasa enakkan badannya dan akhirnya sembuh. Banyak yang cocok di Mbah Djuri ini.

Setiap kali diputuskan untuk dibawa ke Mbah Djuri, aku menolak. Namun, kalimat pemungkas Mbok Wekku tak bisa kulawan.

"Mau sembuh apa tidak?" Demikian kalimat Mbok Wek itu yang terpaksa aku harus ikuti. Walau sebenarnya mendengar nama Mbah Djuri disebut, tulang-tulangku serasa dilolosi dari tubuhku. Lemas.

Aku berpisah dengan Mbok Wekku saat hasil shalat Istikharahku memantapkan hatiku untuk melanjutkan kuliah di Jayapura. Sejak saat itu, kami hanya saat aku pulang mudik ke Soronh. Namun, pernah juga Mbok Wek berkesempatan berkunjung ke Jayapura dan menginap di kos-kosanku waktu itu. Ketika itu Mbok Wek sedang berkunjung ke keluarganya di Arso dan Koya Timur.

Saat-saat aku mudik ke Sorong, aku selalu memeluk, menciummu sepuasnya melampiaskan kerinduanku, selain satu itu yang selalu engkau pinta: pijat. Katamu pijatan tanganku 'enak'. Alhamdulillah di beberapa tahun menjelang kepergianmu, aku sekeluarga selalu mudik setiap Idul Fitri tiba.

Mbok Wek, maafkan aku tak bisa melihat langsung jasadmu untuk terakhir kalinya, karena pesawatku berselisih beberapa jam dari pemakamanmu. Namun, menurut keluarga dan para tegangga, wajahmu terlihat bersih dan lebih cantik dari biasanya. Tubuhmu yang biasanya bungkuk, tiba-tiba menjadi lurus kembali. Semoga ini pertanda baik akhir hayatmu. Karena memang engkau adalah orang yang baik, rajin beribadah, tak lepas shalat lima waktu dan tahajud.

Selamat jalan Mbok Wekku, Mbok Wek Paini, doa terbaikku selalu kupanjatkan untukmu.

Allahummaghfirlaha warhamha wa'afiha wa'fu 'anha. Aamiin.

Masjid Raya Baiturrahim Jayapura, 25 Ramadhan 1439 H

Insya Allah bersambung ke Episode Bersama Pamanku

0 Response to "Kalian Pergi di Hari yang Sama"

Post a Comment