Selalu terasa mendebarkan,
ketiga panggilan mukhayyam itu tiba. Betapa tidak, dalam kegiatan ini
kesiapsiagaan kita setiap saat dilatihkan. Terbayang, pluit panitia yang
melengking tak kenal waktu. Bisa pagi hari, tengah hari, sore, bahkan tiga
waktu malam hari (awal malam, tengah malam,akhir malam), atau pun waktu
menjelang fajar. Kapan pun bunyi peluit
itu, kami harus bersedia dengan seragam lengkap. Kurang sepatu atau kaus kaki,
bisa diganjar dengan push up beberapa kali. Hehe. Namun, tetap saja semua
dilakukan dengan penuh cinta.
“Silahkan karena atribut
kurang, push up dulu ya,” kata panitia atau instruktur dengan lembut. Tak ada bentakkan, tak ada caci maki.
Bagi yang merasa bersalah pun
melaksanakan hukuman dengan penuh kesadaran. Dengan senyum-senyum kecil
menyadari kesalahan push up pun dilakukan. Bagi yang tak mampu push up,
terutama yang pertumbuhan tubuhnya bukan ke atas namun kesamping dan perutnya
sudah menjadi semacam rangsel yang sepanjang hari menggelayuti badannya, bisa
diganti dengan hukuman yang lainnya, misalnya bending. Bending yaitu melakukan
jongkok-berdiri, jongkok-berdiri berulang-ulang tanpa melompat ala squat jump.
Hukuman saja dilakukan dengan
penuh cinta dan pengajaran yang baik, apalagi kegiatan lainnya yang tidak lepas
dari nilai-nialai Islami nan penuh dengan nilai-nilai ruhiyah.
Sahabat, mukhayyam (kemah)
adalah sarana pendidikan (tarbiyah) yang lengkap. Dalam kegiatan yang dilakukan
dalam beberapa hari ini, biasanya dua sampai dengan tiga hari, menggabungkan antara
kegiatan jasadiyah, ruhiyah dan sekaligus fikriyah. Dalam mukhayyam ada masak memasak, senam, jogging, dan bela
diri praktis. Di sini ada shalat berjamaah, shalat malam, tilawah, dzikir pagi
dan petang, tausiah, wawasan kepanduan, latihan kepemimpinan, ketaatan,
perjuangan, pengorbanan, kesabaran, kesiapsiagaan, ruhul ukhuwah dan amal
jama’i. Bahkan mukhayyam juga harus disinergikan dengan kegiatannya pengabdian dan
pelayanan kepada masyarakat di sekitar tempat kemah.
Lelah? Memang lelah. Namun,
jika dilihat dari manfaat yang akan kita peroleh, rasa lelah, waktu yang kita
luangkan, biaya yang kita keluarkan semuanya akan terbayar lunas. Rasa lelah
kita tiada sebanding dengan manfaat dan hikmah yang diperoleh.
Mau mundur dari kegiatan ini?
Rasa-rasanya koq malu hati ya. Imam Syahid Hasan Al-Banna pernah menulis dalam
memoar tentang mukhayyam muasakar (kemah pembentukan kelompok inti kepanduan)
pada musim panas tahun 1939 M/ 1358 H yang dilaksanakan di Asitah Asyut, sebuah
pantai. Demikian tulis beliau:
“Muaskar ini memang serupa
dengan perkemahan di Iskandariyah jika dilihat dari rangakain aktivitasnya:
riyadhah, ruhy dan tsaqafy. Namun, yang saya ingin kenang dalam muaskar ikhwan
ini ialah al-akh Haji Sulaiman Shalih Habarun, syaikh Ikhwanul Muslimin di Bani
Majd. Beliau berusia lebih dari 70 tahun dan hampir menginjak usia 80 tahun,
namun bersikeras untuk ikut serta bersama ikhwan dalam muaskar. Pemimpin
muaskar ingin memisahkannya di tempat yang cocok dengannya dan memberi
tugas-tugas yang ringan. Namun, ia bersikeras untuk tidak dibedakan dengan
pemuda yang ikut muaskar tersebut. Ia mengikuti semua agenda kepanduan. Ia juga
melaksanakan tugas rutin dengan optimal, seperti tugas kebersihan, memasak,
mengambil air, dan sebagainya. Ia pun ikut serta dalam tugas dalam kegiatan
jaga malam dan siang.”
Syaikh Haji Sulaiman melakukan
semua tugas-tugas mukhayyam karena hatinya diliputi dengan cinta. Cinta akan
keikhlasan, cinta kepada ukhuwah, dan cinta amal jamai. Pemimpin atau panitia
yang berusaha meringankan tugas-tugas sang syaikh pun disebabkan karena cinta. Cinta
yang menyebabkan panitia merasa berempati. Cinta yang menggerakkan untuk
menempatkan sang syaikh pada posisinya yang dianggap tepat. Semua dilakukan dalam
balutan cinta.
Kisah seperti ini pun berulang
di era kini. Di beberapa daerah didapati peserta mukhayyam yang seusia dengan
Haji Salaiman, pun tak mau diberikan perlakuan istimewa. Lantas kita masih
beralasan untuk menghindari mukhayyam? Malu rasanya untuk meninggalkan
mukhayyam penuh cinta ini.
Meski untuk bisa memenuhi
panggilan mukhayyam ini, berat terasa. Harus meninggalkan anak dan istri. Meninggalkan
empuknya kasur. Nikmatnya hidangan yang mengepul di meja dapur. Semua kemudahan
fasilitas dan teknologi yang serba teratur. Namun, dorongan cinta untuk meraih tujuan
yang lebih besar, semua itu dengan ikhlas
ditinggalkan untuk sementara waktu.
Semua kemudahan, kenikmatan
ditinggalkan untuk tujuan besar yang ingin diwujudkan. Semua ditinggalkan untuk
menanamkan semangat perjuangan dan pengorbanan. Semua diikhlaskan untuk
meningkatkan ruhul ukhuwah dan amal jamai. Semua direlakan untuk melatih
sifat-sifat keprajuritan, kepemimpinan dan kemampuan bersabar dalam kesulitan. Selain
itu juga, untuk mewujudkan kebugaran, kedisiplinan, ketaatan dan kesiapsiagaan.
Apalagi mukhayyam era ini selalu disinergikan dengan kegiatan bakti kepada
masyarakat. Sesuatu yang tentu selain melatih skill kami selaku kader dakwah
untuk terus berinteraksi dengan masyarakat sekaligus berharap menjadi
kemanfaatan yang besar bagi objek dakwah kami itu.
Sahabat, kami sangat berharap
bahwa mukhayyam yang kami ikuti bisa menanamkan ruhiyah
i’tiqadiyah-khuluqiyah seperti nilai-nilai keikhlasan, keyakinan,
keridhaan, kesederhanaan, ta’abudiyah, tawakal, dan kepedulian lingkungan dan
masyarakat. Mukhayyam juga sangat kami harapkan bisa menumbuhkan ruhiyah
ukhawiyah, yang menghimpunkan nilai-nilai ta’aruf, ta’awun, takaful,
salamatush-shadr, itsar, dan kepedulian sosial. Ia juga kami harapkan bisa
membina ruhiyah tanzhimiyah, seperti nilai-nilai indibath, tha’ah,
amanah, qiyadah wal jundiyah, dan amal jamai. Selain itu, kami mengharapkan
mukhayyam memberi kesempatan untuk melatih ruhiyah jihadiyah, seperti
nilai-nilai i’dad wal isti’dad (kesiapsiagaan), tadhiyah (pengorbanan), tsabat
(keteguhan) dan wa’yul amni (sense of security).
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS Al-Anfal: 60)
Perintah Allah
agar kaum muslimin dan terutama kader dakwah untuk selalu bersiapsiaga ini
bukan tanpa alasan. Sebuah pelajaran diungkapkan di beberapa ayat sebelum ayat
60 surat Al-Anfaal ini. Digambarkan bahwa orang-orang Yahudi telah melanggar
perjanjian yang telah mereka jalin dengan Nabi saw di Madinah bahwa mereka akan
saling bahu membahu jika ada serangan dari luar. Mereka malah bergabung dengan
orang-orang musyrik Mekah untuk merancang konspirasi terhadap kaum muslimin. Allah
dalam ayat sebelum ini membolehkan kaum muslimin untuk mengabaikan perjanjian untuk
melindungi kaum Yahudi, karena justru mereka yang ingkar terlebih dahulu. Maka pada
ayat ke-60 ini, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan pasukan
mereka secara maksimal sesuai dengan kemampuan mereka. Kaum muslimin tidak
boleh pasif, yaitu menunggu dulu ada serangan musuh baru bersiap-siap. Sebaliknya,
persiapan itu harus dilakukan sejak dini dan sepanjang masa. Kesiapsiagaan ini
akan membuat musuh-musuh (orang-orang musyrik) dan orang-orang selain mereka
(orang-orang munafik) menjadi gentar dan tidak akan menyerang kaum muslimin. Agar
tidak salah paham, persiapan dalam bentuk mengangkat senjata ala militer harus
dilakukan oleh tentara negara yang bersangkutan. Rakyat sifatnya siap-siaga
untuk memberikan semua bantuan jika peperangan itu benar-benar pecah.
Dalam era modern ini, serangan
musuh bukan selalu dalam artian serangan militer dengan mengangkat senjata. Meskipun persiapan
ini tetap penting, mengingat masih ada sejumlah negara yang diserang dengan
kekuatan militeristik ini. Saat ini kaum muslimin lebih banyak diserang dari
sisi pemikiran, ekonomi, pendidikan, budaya, teknologi, dan lain sebagainya. Serangan
pemikiran dilakukan melalui tayangan hiburan, film, kartun, musik, lawakan yang
tampil di televisi, kaset, CD/DVD, bioskop, internet, dan lain-lain guna
menjauhkan kaum muslimin dari jiwa kepribadiannya. Serangan ekonomi misalnya
melalui pemberian hutang luar negeri, investasi, pembelian aset nasional dengan
harga murah, kontrak karya pertambangan secara licik, pemaksaan mata uang
dollar sebagai standar ekonomi, dan lain-lain. Serangan pendidikan, budaya dan
teknologi pun terjadi karena kaum muslimin tidak mampu atau tidak percaya diri
mengembangkan sendiri pola pendidikan, budaya dan teknologinya. Semua itu
mebutuhkan kesiapsiagaan kita dengan terus mengembangkan kapasitas diri agar
tangguh menghadapinya.
Dalam ayat
selanjutnya, Allah SWT berfirman:
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. (QS Al-Anfal: 61-62)
Ayat ini
menegaskan bahwa kesiapsiagaan kaum muslimin bukan berarti mengajak berperang
musuh. Semua itu dilakukan untuk membela diri. Kesiapsiagaan secara maksimal ini
akan menjadikan musuh-musuh gentar dan akhirnya memilih berdamai dengan kaum
muslimin. Bila kaum musyrik mengajak berdamai, maka kaum muslimin diminta untuk
condong kepada permaian itu. Namun jika perdamaian yang dilakukan itu
dimaksudkan mereka untuk menipu kaum muslimin, kaum muslimin tidak boleh gentar
sedikit pun untuk menghadapi mereka, karena Allah lah yang akan selalu menjadi
pelindung dan penolong kaum muslimin.
Sahabat, dalam mewujudkan
perintah Allah dalam ayat 60, 61 dan 62 surat Al-Anfal di atas, mukhayyam ini menjadi
penting. Para kader dakwah harus terus mengembangkan kesiapsiagaan mereka. Bukan
hanya dalam menghadapi serangan, lebih jauh lagi adalah dalam upaya untuk terus
mengembangkan potensi dan skill mereka. Sebab dakwah ini tidak selamanya berada
di jalan yang mulus tanpa hambatan, namun justru sering berada di jalan terjal penuh
onak dan duri.
Kesiapsiagaan dan semua
latihan dalam mukhayyam seperti ini diharapkan bisa melahirkan kader-kader
dakwah yang tangguh yang siap diterjunkan di tengah-tengah masyarakatnya. Banyak
contoh di banyak daerah bahwa pembinaan yang dilakukan secara terus menerus dengan
berbagai sarana termasuk mukhayyam ini telah membentuk kader-kader dakwah mudah
digerakkan dan diorganisir. Sehingga, kader dakwah menjadi terdepan dalam
berbagai saat aksi pelayanan sosial, aksi peduli bencana, ataupun dalam
berbagai aksi unjuk rasa secara tertib dan teratur melawan ketidakadilan.
Jadi, yuk ikut mukhayyam.
Meski berat, cinta yang akan menjadikannya terasa ringan, mudah dan
insya Allah berkah.
Akhirnya kuucapkan selamat
datang di mukhayyam, sarana tarbiyah nan penuh cinta.
Jayapura, 25
Desember 2017
0 Response to "Selamat Datang di Mukhayyam, Sarana Tarbiyah Penuh Cinta"
Post a Comment