Berbekallah untuk Hari yang Sudah Pasti



Oleh Sunardi

Berbekallah untuk hari yang sudah pasti
Sungguh kematian adalah muara manusia
Relakah dirimu menyertai segolongan orang
Mereka membawa bekal sedangkan dirimu hampa
(Nasyid by Suara Persaudaraan)

Hari yang sudah pasti itu akan datang pada waktunya, sebagaimana pastinya mentari yang akan terbit di esok pagi sebagai pengusir gelapnya malam ini. Hanya saja, Allah merahasiakan kapan ia akan datang bagi seorang hamba. Rahasia itu telah ditetapkan oleh Allah sejak usia 4 bulan dalam kandungan ibunya, bersama tiga hal lainnya, yakni rizkinya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim. Bahkan, kepastian akan kematian seseorang itu sudah tercantum dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh) yang telah ditulis ratusan tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.

Hari yang sudah pasti itu tiada disegerakan atau ditangguhkan datangnya, meski pun sedetik jua. Jatah umur seorang hamba tiada dimajukan atau dimundurkan, melainkan sudah ditakar dengan ketetapan Allah yang pasti.

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Munafiqun [63]: 11)

Hari yang sudah pasti itu tiada dikurangi atau disegerakan karena seseorang sibuk berdakwah, beramar ma’ruf nahi munkar, berjihad, mencari rezeki yang halal, dan pekerjaan atau kegiatan lain yang dianggap berisiko. Demikian juga jatah umur seseorang tak akan ditambah, saat datangnya ajal takkan ditangguhkan meskipun seseorang berdiam diri, tidak berdakwah, tidak beramar ma’ruf nahi munkar, tidak mencari rezeki, dan tidak melakukan pekerjaan berisiko itu.

“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS Fathir [35]: 11)

Kematian adalah muara bagi seorang anak manusia. Ia adalah garis finish dari perjalanan dunia seorang hamba. Ia juga sekaligus adalah garis awal dari kehidupan alam akhirat yang abadi. Ia akan menjadi awal dari balasan terhadap amal perbuatannya, apakah berupa kenikmatan yang tiada tara atau justru siksaan yang amat pedih.

Datangnya ‘muara bagi manusia’ itu tak ada kaitannya dengan usia tua seseorang. Sebagaimana kita saksikan ada yang bersua dengan kematian di usia lanjut, namun ada pula yang berjumpa dengan maut di usia muda, bahkan ada yang baru berusia beberapa hari di dunia atau masih dalam bentuk janin di kandungan ibunya sudah menemui ajalnya. Demikian pula, ‘muara manusia’ itu tidak ada kaitannya dengan status sosial seseorang. Seseorang yang miskin bukan berarti akan lebih dahulu dipanggil oleh Allah dibandingkan dengan seseorang yang lebih kaya. Hamba yang memiliki pangkat lebih rendah tidak mesti akan dipeluk ajal lebih dahulu dibandingkan hamba yang memiliki pangkat lebih tinggi. Lewat kematian inilah Allah ingin menunjukkan keadilannya: Allah tidak pandang bulu menimpakan kematian ini.

Hari yang sudah pasti itu tidak dapat dicegah datangnya oleh seorang security di pintu gerbang rumah kita. Ia juga takkan bisa dihentikan oleh seorang bodyguard, harta kekayaan yang melimpah atau pun anak keturunan yang banyak. Firman Allah :

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana pun kalian berada, kematian akan menjemput kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang kokoh.” (QS An-Nisa’ [4]: 78)

Jika kematian adalah sebuah keniscayaan, maka sikap terbaik bagi kita adalah menyiapkan bekal terbaik yang akan kita bawa.

Nabi Saw pernah ditanya, “Siapakah yang paling cerdas dari kalangan kaum mukminin?” Beliau menjawab, Orang yang paling cerdas ialah yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya untuk setelah kematian. Mereka itulah orang-orang yang cerdik.” (Shahīh at-Targhīb wa't Tarhīb III/164/3335)

Relakah diri kita menyertai segolongan orang yang membawa bekal sedangkan tangan kita hampa? Sudah pasti jawabnya tidak. Persiapkan amal terbaik kita sebagai sebaik-baiknya bekal untuk menghadapi kematian.

Jangan sampai kita bersikap lalai dengan memandang kematian adalah sesuatu yang masih jauh posisinya dari diri kita. Padahal, ia begitu dekatnya. Waktu yang kita lewati, ternyata tak ubahnya bagaikan kedipan mata. Saat bayi, kanak-kanak, remaja yang kita lalui ternyata bagaikan sehari kemarin, tahu-tahu kita sudah berada di hari ini. Demikian halnya dengan hari esok, pasti akan berlalu dengan cepatnya. Jangan sampai ajal sudah menjemput kita, sedangkan kita belum memiliki bekal apa pun yang akan kita bawa. Firman Allah:

“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (An-Nazi’at [79]: 46)

“Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.” (Al-Ahqaf [46]: 35)

Marilah kita berbekal, untuk hari yang sudah pasti itu sebagai muara bagi kahidupan kita.

###

Sorong, 3 Juli 2017

Mengenang kematian mak wek kami, Suyati binti Ahmad Hasan Sadi pada hari ke-4 Idul Fitri 1438 H, Rabu (4 Syawal 1438 H/28 Juni 2017). Semoga Allah menerima amal ibadahmu, mengampuni khilaf-salah-dosamu, dan menempatkanmu di Jannah-Nya kelak. Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa’fu’anha. Aamiin.






0 Response to "Berbekallah untuk Hari yang Sudah Pasti"

Post a Comment