Meseum Wayang: Merekam Dakwah Islam hingga Perwajahan Dunia



Menyusuri koleksi Museum Wayang yang ada di Kompleks Kota Tua Jakarta seolah mengajak kita berkelana ke era dakwah Walisongo di Tanah Jawa hingga menapak tilas tumbuh dan berkembangnya seni pertunjukkan boneka di manca negara.

Walisongo terutama Sunan Kalijaga dan putranya Sunan Panggung beserta penguasa lokal yang telah memeluk Islam ketika itu menjadi tokoh-tokoh sentral dalam perkembangan wayang di negeri ini. Mereka telah berhasil secara harmonis memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat itu.

Walisongo telah berhasil mentransformasi wayang dari kisah berlatar belakang epik Hindu-Budha India menjadi cerita yang membawa nilai-nilai Islam. Terbayang bagaimana diskusi hingga perdebatan hebat yang dilakukan oleh Walisongo beserta pengikutnya sebelum memutuskan menjadikan wayang sebagai salah satu sarana dakwah paling efektif ketika itu. Di antara perdebatan itu ialah secara visual bentuk wayang ketika itu yang menyerupai wajah manusia, sementara dalam ajaran Islam terdapat larangan membuat bahan-bahan yang menyurupai makhluk. Diskusi itu pun menghasilkan satu keputusan bahwa bentuk wayang yang menyerupai manusia diubah menjadi wayang yang dibuat dari kulit kerbau dengan wajah yang digambarkan miring, leher yang panjang, serta tangan yang dibuat memanjang sampai ke kaki.
Rama dan Shinta
Dari segi isi cerita, pesan moral Islam banyak disisipkan di dalamnya, seperti dalam lakon Bima Suci. Bima diceritakan meyakini adanya Tuhan yang Maha Esa yang menciptakan dunia dan seisinya. Bima mengajarkan keyaninannya itu kepada Janaka, saudaranya. Ajaran-ajaran Islam juga mewarnai dalam lakon ini, seperti wajibnya menuntut ilmu, berakhlak mulia dalam pergaulan, bersikap sabar dan berlaku adil terhadap sesama manusia.

Terpikir dalam benak kita bagaimana cerdasnya Walisongo yang memodifikasi konsep “Jimat Kali Maha Usada” yang mengandung teologi Hindu menjadi “Jimat Kalimah Shada” yang bermakna azimah kalimat syahadat yaitu dua kalimat syahadat yang merupakan inti ajaran Islam. Akulturasi nilai-nilai Islam ke dalam wayang menjadi sempurna dengan memasukkan tokoh-tokoh baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli Ramayana dan Mahabarata, yaitu Punakawan. Punakawan yang terdiri dari Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong merupakan murabbi atau mentor bagi Pandawa menjadikan nilai-nilai ajaran Islam begitu mengalir dalam jalinan pewayangan Indonesia.

Semar
Artikel berjudul Wayang Dalam Dakwah Islam di Nusantara mengutip pendapat Sudarto yang diungkapkan dalam buku “Interelasi Nilai Jawa dalam Pewayangan”. Sudarto menjelaskan panjang lebar tentang filosofi nama-nama punakawan ini. Menurutnya, Semar berasal dari kata ismar yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis. Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng berasa dari kata nala qarin yang berarti seorang yang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman. Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwa Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan kepada Tuhan. Bagong berasal dari kata bagha yang berarti menolak segala  hal yang bersifat buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat. Punakawan dengan sifat-sifatnya yang bersandar pada Tuhan, berkepribadian kuat, bijaksana, baik dalam bersosialisasi, jiwa sosial yang tinggi, dan memberantas kemungkaran menjadi pintu masuk untuk mengenalkan ajaran Islam.

Dan, karya agung dari anak bangsa Indonesia itu termasuk di dalamnya ada sumbangsih para Walisongo tersebut, pada 7 November 2003 telah diakui sebagai  World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Karya Agung  Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia) oleh UNESCO. Karya akulturasi budaya dari Walisongo yang menjadi sumber perubahan sosial kemasyarakatan di Nusantara dan diakui sebagai warisan dunia itu terpajang dengan cantik di Museum Wayang di Kawasan Kota Tua Jakarta.

Di museum ini, kita juga diajak menyusuri kisah perjuangan anak bangsa melawan penjajah melalui koleksi wayang revolusi. Karakter-karakter yang ditampilkan di sisni terbagi menjadi karakter pribumi seperti Soekarno dan Si Pitung, karakter bangsa Jepang, dan karakter bangsa kulit putih. Menyaksikannya menjadikan gelora nasionalisme dan semangat kebangsaan kita menjadi menyala.

Koleksi yang juga banyak mewarnai di museum ini ialah wayang golek dari tanah Sunda. Bahkan, setelah pintu masuk tepatnya di sebelah meja resepsionis kita disuguhi dua wayang golek raksasa.



Daftar koleksi di museum ini mungkin bisa menjadikan kita berdecak kagum, ada sekitar 4000 koleksi wayang. Koleksi yang bisa kita jumpai di sini di antaranya yaitu wayang kulit purwa Ngabean, wayang kulit Tejokusuman, wayang Kyai Intan, wayang beber, wayang kulit Bali, wayang kulit purwa Palembang, wayang kulit Cirebon, wayang kulit Mojokerto, wayang kulit Purwa Deli Serdang (Sumatera Utara), wayang kulit purwa Banjar (Kalsel), wayang kulit Sawah Lunto (Padang), wayang Sasak (Lombok), wayang golek Elung Bandung, wayang golek Bogor, wayang golek Menak Kebumen, wayang golek Pakuan, wayang wahyu, wayang golek lenong Betawi, wayang Poo Te Hie, boneka keluarga Si Unyil, gamelan, dan wayang/ boneka dari berbagai negara sahabat. Koleksi wayang atau boneka dari sejumlah negara sahabat seperti Cina, Vietnam, India, Malaysia, Thailand, Suriname, Perancis, dan Kamboja.

Sebenarnya, museum ini dibangun di atas reruntuhan bangunan gereja yang terkena gempa bumi pada tahun 1808. Awalnya, pada tahun 1640, di lokasi ini berdiri bangunan yang diberi nama De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Lama Belanda). Pada tahun 1732 bangunan ini dipugar dan diganti nama menjadi De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda) yang selanjutnya hancur pada tahun 1808 karena gempa bumi hebat.

Pada tanggal 14 Agustus 1936, lokasi ini diputuskan menjadi monumen dan dibeli oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yaitu lembaga yang didirikan untuk memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan. Pada tanggal 22 Desember 1939 dijadikan museum dengan nama De Oude Bataviasche Museum (Museum Batavia Lama). Selanjutnya, pada 13 Agustus 1975 museum ini berubah menjadi Museum Wayang yang diresmikan oleh oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin.

Meskipun telah dipugar beberapa bagian gereja lama dan baru masih tampak terlihat dalam bangunan ini, terutama makam di kawasan gereja dari salah satu tokoh Belanda pendiri Batavia yaitu gubernur jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon.


So, semoga sahabat memiliki kesempatan untuk mengunjungi Museum Wayang di Kawasan Kota Tua Jakarta ini ya. Aamiin.

Ditulis di Jayapura, 15 Oktober 2018

NB:
Aku sebenarnya sudah 3 kali mengunjungi Kota Tua Jakarta, namun baru berkesempatan masuk ke Museum Wayang ini di kunjungan ketigaku. Salah satunya gagal masuk Museum Wayang karena aku berkunjung di hari Senin. Agar sahabat tidak salah hari kunjungan, berikut jadual museum ini buka:

Buka: Selasa – Minggu pukul 08:00 – 17:00 WIB
Tutup: Hari Senin, dan hari raya atau hari libur nasional.














Bersama teman-teman penulis terkenal: Mbak Nunik Utami, Mas Bimo Rafandha, Mas Firmansyah, dan Mbak Anastasye

0 Response to "Meseum Wayang: Merekam Dakwah Islam hingga Perwajahan Dunia"

Post a Comment